Dia di juluki dengan Abu Dasmah budak dari Jubair bin Muthim dari Habasyah. Sebelumnya dia seorang penyembah berhala sampai Allah Subhanahu Wata'ala menunjukinya ke jalan hidayah. Sungguh ia mempunyai kisah yang keras, menyedihkan dan memilukan. Maka wahai pembaca yang budiman silahkan anda menyimak kisahnya.
Thu'aimah adaah paman Wahsyi yang ikut berperang dalam perang badar dari pihak kafir Quraisy. Thu'aimah terbunuh melalui tangan Hamzah bin Abdul Muthalib (Paman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam), yang mengakibatkan ia sangat bersedih dan bertekad mencari tahu dan membunuh Hamzah.
Kesempatan pun datang pada Wahsyi yaitu pada saat perang Uhud ia pun mempersiapkan tombak yang akan dia gunakan untuk membunuh Hamzah. Sebelum rombongan tentara Quraisy berangkat ke medan perang terjadi dialog antara Wahsyi dan majikannya.
Jubair bin Muthim berkata : "Wahai Abu Dasmah, tidakkah ada keinginan dirimu untuk lepas dari perbudakan ?"
Wahsyi menjawab : "Siapa yang memerdekakanku dari perbudakan itu?"
Ia menjawab : "Aku akan memerdekakanmu."
Wahsyi bertanya lagi : "Bagaimana caranya?"
Ia menjawab : "Jika engkau berhasil membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib sebagai balasan kematian pamanku Thu'aimah bin 'Addi, maka engkau akan merdeka."
Wahsyi bertanya : "Siapa yang akan menjadi jaminan untukku jika aku berhasil memenuhinya?"
Ia menjawab : "Siapa saja yang engkau kehendaki, dan aku akan sampaikan kepada semua orang."
Wahsyi menjawab : "Aku akan lakukan dan aku akan berhasil dan merdeka."
Mendengar janji dari majikannya maka Wahsyi semakin bersemangat membunuhnya.
Perang Uhud pun terjadi dan kedua pasukan besar saling bertemu sehingga terjadi peperangan yang dahsyat. Dalam kondisi demikian Wahsyi terus mengintai Hamzah, sebelumnya ia telah mengetahuinya di tambah lagi kebiasaan yang dilakukannya adalah meletakkan tanda kehormatan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kuat dan perkasa dari galongan pemberani Arab. Ketika Wahsyi telah melihat posisi Hamzah maka dengan cepat ia melemparkan tombaknya dan ia pun jatuh tersungkur dan telah meraih gelar syuhada. Wahsyi memang terkenal akan keahliannya dalam memainkan tombak maka tidak salah jika majikannya menujuk dirinya. Setelah itu ia mengambil tombaknya dan kembali ke kemah, tujuan ia mengikuti perang hanya berkeinginan membunuh paman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam tersebut. Setelah perang usai majikannya memenuhi janjinya terdahulu.
Selang beberapa tahun kemudian dakwah Rasulullah Shallallahu 'Alahi Wasaallam semakin melebar, jumlah kaum muslimin semakin bertambah dan mekkah beralih ke pangkuan kaum muslimin. Melihat kejadian tersebut terjadi kekhawatiran yang besar akan eksistensinya. Ia takut bahwa beliau Rasulullah Shallallahu 'Alahi Wassalam akan membunuhnya. Wahsyi pun keluar dari kota mekkah untuk mencari perlindungan, namun hasilnya percuma rata-rata islam telah menyentuh hati-hati manusia. Kekhawatirannya pun semakin tidak terbendung sampai suatu ketika ia mendapatkan nasehat bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alahi Wasallam tidak akan membunuh seseorang yang memeluk agama Allah Subhanu Wata'ala. Ia pun bertekad menemui Baginda Rasullullah untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat, akhirnya islam pun telah menjadi bagian dalam dirinya, namun ketika Rasullullah Shallallahu 'Alahi Wasallam mengetahui bahwa ia yang membunuh paman Hamzah serta merta beliau membalikkan badannya dan berkata : "Celaka engkau wahai Wahsyi, menjauhilah engkau dari penglihatanku dan jangan sampai aku melihatmu sejak hari ini." Sungguh perkataan yang sangat menyakitkan. Sejak ia memeluk agama islam ia tidak pernah menampakkan wajahnya di hadapan Rasulullah, bahkan jika ia mengikuti majelis beliau, ia akan mencari tempat yang memungkinkan beliau tidak melihatnya. Hal itu terjadi sampai Rasulullah kembali ke TuhanNya. Sekalipun ia telah memeluk agama rahmatan lil'alamin, ia tetap merasa dirinya begitu buruk, walaupun kesalahan sebelumnya telah tertutup.
Pada zaman kekhalifan Abu Bakar As-Shiddiq terjadi pemurtadan yang besar dari kaum muslimin khususnya pada bani hanifah dan mengakui nabi palsu laknat Musailamah Al-Kadzdzab, dengan segera kaum muslimin pun siap memerangi mereka. Maka ini merupakan kesempatan bagi Wahsyi untuk membunuhnya dan berharap mendapatkan gelar syahid. Perang pun dimulai, di saat Wahsyi melihat Musailamah ia pun dengan segera melemparkan tombaknya yang pernah ia pakai untuk membunuh Hamzah dan dengan seketika nabi palsu tersebut telah kembali ke neraka. Sebenarnya sesorang dari kaum anshar turut andil dalam membunuhnya, namun dalam hal ini Allah yang mengetahui siapa di antara mereka yang berhasil membunuhnya. Jika memang Wahsyi yang berhasil membunuhnya maka ia telah berhasil membunuh seburuk-buruk manusia, sebagaimana ia telah membunuh orang yang terbaik setelah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alahi Wasallam (Hamzah bin Abdul Muthalib).
Maraji':
Thu'aimah adaah paman Wahsyi yang ikut berperang dalam perang badar dari pihak kafir Quraisy. Thu'aimah terbunuh melalui tangan Hamzah bin Abdul Muthalib (Paman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam), yang mengakibatkan ia sangat bersedih dan bertekad mencari tahu dan membunuh Hamzah.
Kesempatan pun datang pada Wahsyi yaitu pada saat perang Uhud ia pun mempersiapkan tombak yang akan dia gunakan untuk membunuh Hamzah. Sebelum rombongan tentara Quraisy berangkat ke medan perang terjadi dialog antara Wahsyi dan majikannya.
Jubair bin Muthim berkata : "Wahai Abu Dasmah, tidakkah ada keinginan dirimu untuk lepas dari perbudakan ?"
Wahsyi menjawab : "Siapa yang memerdekakanku dari perbudakan itu?"
Ia menjawab : "Aku akan memerdekakanmu."
Wahsyi bertanya lagi : "Bagaimana caranya?"
Ia menjawab : "Jika engkau berhasil membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib sebagai balasan kematian pamanku Thu'aimah bin 'Addi, maka engkau akan merdeka."
Wahsyi bertanya : "Siapa yang akan menjadi jaminan untukku jika aku berhasil memenuhinya?"
Ia menjawab : "Siapa saja yang engkau kehendaki, dan aku akan sampaikan kepada semua orang."
Wahsyi menjawab : "Aku akan lakukan dan aku akan berhasil dan merdeka."
Mendengar janji dari majikannya maka Wahsyi semakin bersemangat membunuhnya.
Perang Uhud pun terjadi dan kedua pasukan besar saling bertemu sehingga terjadi peperangan yang dahsyat. Dalam kondisi demikian Wahsyi terus mengintai Hamzah, sebelumnya ia telah mengetahuinya di tambah lagi kebiasaan yang dilakukannya adalah meletakkan tanda kehormatan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kuat dan perkasa dari galongan pemberani Arab. Ketika Wahsyi telah melihat posisi Hamzah maka dengan cepat ia melemparkan tombaknya dan ia pun jatuh tersungkur dan telah meraih gelar syuhada. Wahsyi memang terkenal akan keahliannya dalam memainkan tombak maka tidak salah jika majikannya menujuk dirinya. Setelah itu ia mengambil tombaknya dan kembali ke kemah, tujuan ia mengikuti perang hanya berkeinginan membunuh paman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam tersebut. Setelah perang usai majikannya memenuhi janjinya terdahulu.
Selang beberapa tahun kemudian dakwah Rasulullah Shallallahu 'Alahi Wasaallam semakin melebar, jumlah kaum muslimin semakin bertambah dan mekkah beralih ke pangkuan kaum muslimin. Melihat kejadian tersebut terjadi kekhawatiran yang besar akan eksistensinya. Ia takut bahwa beliau Rasulullah Shallallahu 'Alahi Wassalam akan membunuhnya. Wahsyi pun keluar dari kota mekkah untuk mencari perlindungan, namun hasilnya percuma rata-rata islam telah menyentuh hati-hati manusia. Kekhawatirannya pun semakin tidak terbendung sampai suatu ketika ia mendapatkan nasehat bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alahi Wasallam tidak akan membunuh seseorang yang memeluk agama Allah Subhanu Wata'ala. Ia pun bertekad menemui Baginda Rasullullah untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat, akhirnya islam pun telah menjadi bagian dalam dirinya, namun ketika Rasullullah Shallallahu 'Alahi Wasallam mengetahui bahwa ia yang membunuh paman Hamzah serta merta beliau membalikkan badannya dan berkata : "Celaka engkau wahai Wahsyi, menjauhilah engkau dari penglihatanku dan jangan sampai aku melihatmu sejak hari ini." Sungguh perkataan yang sangat menyakitkan. Sejak ia memeluk agama islam ia tidak pernah menampakkan wajahnya di hadapan Rasulullah, bahkan jika ia mengikuti majelis beliau, ia akan mencari tempat yang memungkinkan beliau tidak melihatnya. Hal itu terjadi sampai Rasulullah kembali ke TuhanNya. Sekalipun ia telah memeluk agama rahmatan lil'alamin, ia tetap merasa dirinya begitu buruk, walaupun kesalahan sebelumnya telah tertutup.
Pada zaman kekhalifan Abu Bakar As-Shiddiq terjadi pemurtadan yang besar dari kaum muslimin khususnya pada bani hanifah dan mengakui nabi palsu laknat Musailamah Al-Kadzdzab, dengan segera kaum muslimin pun siap memerangi mereka. Maka ini merupakan kesempatan bagi Wahsyi untuk membunuhnya dan berharap mendapatkan gelar syahid. Perang pun dimulai, di saat Wahsyi melihat Musailamah ia pun dengan segera melemparkan tombaknya yang pernah ia pakai untuk membunuh Hamzah dan dengan seketika nabi palsu tersebut telah kembali ke neraka. Sebenarnya sesorang dari kaum anshar turut andil dalam membunuhnya, namun dalam hal ini Allah yang mengetahui siapa di antara mereka yang berhasil membunuhnya. Jika memang Wahsyi yang berhasil membunuhnya maka ia telah berhasil membunuh seburuk-buruk manusia, sebagaimana ia telah membunuh orang yang terbaik setelah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alahi Wasallam (Hamzah bin Abdul Muthalib).
Maraji':
Shuwar Min Hayati Ash-Shahabah, (Khamsah wa Sittin Syahshiyyah), Dr. Abdurrahman Ra'far al-Basya