Pada masa khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Hidup seorang wanita cantik bernama Su’da. Ia sudah bersuami, namun suatu ketika suaminya jatuh miskin. Su’da pun direbut kembali oleh orang tuanya yang tidak sudi melihat kemiskinan suaminya. Marwan bin Al-Hakam, Gubernur Madinah yang mengetahui kecantikan Su’da, lantas merebutnya dari suaminya, memaksa sang suami untuk menceraikannya, lalu Marwan pun menikahinya. Sang suami pun akhirnya mengadu pada Mu’awiyah bin Abi Sufyan tentang hal tersebut.
Mendengar kabar itu, Muawiyah murka. Beliau menyuruh orang untuk membawa surat kepada Marwan. Surat itu berbunyi, “Aku mendengar bahwa engkau telah bersikap melampaui batas terhadap rakyatmu dan merongrong sebagian kehormatan kaum muslimin. Engkau juga telah melampaui batas yang ditetapkan agama.Semestinya, sebagai seorang gubernur engkau menahan pandangan dari nafsu syahwatmu, mencegah dirimu dari memuaskan dengan segala kelezatan-kelezatan hawa nafsu.”
Beliau melanjutkan, “Alangkah celakah kamu, seandainya ada perkara yang tidak kamu ketahui. Untuk itu mohonlah ampun atas perbuatan para pezina. Si pemuda malang datang kepada kami mengharap pertolongan, mengadukan tentang kesedihan dan duka yang amat teramat dalam.”
“Aku bersumpah kepada Allah dan aku tidak melanggar sumpahku, sungguh. Dan selamatkanlah dirimu dari ancaman dan pembalasanku. Jika kamu menyalahi perintah yang kutuliskan ini, akan aku jadikan dirimu daging panggang. Ceraikan Su’da dan segera serahkan kembali pada mantan suaminya.”
Muawiyah melipat surat itu dan membumbuhi stempel kekhalifahan. Sesaat kemudian, ia memanggil Al-Kamit dan Nadr bin Dzaiban, menyuruh mereka berdua untuk menyampaikan amanatnya. Di madinah, Marwan yang menerima surat itu membacanya dan menangis. Ia menceraikan Su’da dan menyerahkannya kepada Al-Kamit dan Nadr bin Dzaiban. Lalu ia menulis surat jawaban untuk Muawiyah yang bunyinya.
“Jangan terburu-buru menilai, wahai Amirul Mukminin. Sungguh aku telah memenuhi ancaman dengan tulus dan baik. Tidakkah aku mendatangi barang haram yang mengagumkan diriku. Lalu mengapa engkau tuduh diriku sebagai pengkhianat pezina ?”
“Sabarlah, sesungguhnya jika engkau melihatnya, niscaya angan-anganmu mengalir pada sebuah patung manusia. Akan datang kepada tuan, matahari yang tidak ada yang menandinginya. Di hadapan khalifah, baik golongan jin dan manusia.” Ia membumbuhkan cap kegubernuran dan menyerahkan kepada pembantu Muawiyah.
Ketika rombongan sampai di istana, Muawiyah membaca surat Marwan dan penasaran dengan wanita yang bernama Su’da yang telah direbut Marwan dari suaminya. Ketika melihatnya Muawiyah terperanjat. Ia terpikat dengan kecantikannya, keluguan dan keindahan perawakan wanita tersebut. Seketika itu ia jatuh hati dan melamarnya. Tapi Su’da menjawab dengan halus, “Aku ingin menemui suamiku.”
Ketika pria itu datang, Muawiyah bicara padanya, “Wahai pria Arab, apakah engkau masih mencintai Su’da ? aku menawarkan padamu tiga orang dayang istana yang masih gadis sebagai ganti istrimu. Setiap dayang kuberi seribu dinar, dan aku akan memberimu uang yang cukup untuk hidup bersama ketiga dayang itu dari baitul mal setiap tahunnya.”
Jawabnya, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, seandainya engkau beri aku kursi kekhalifaan sekalipun segala isinya, semua itu tidak ada nilainya di sisiku bila dibandingkan dengan Su’da.”
Muawiyah takjub dengan kesetiaan pria ini lantas bertanya pada Su’da. “Mana yang engkau pilih aku, Amirul Mukminin yang diliputi limpahan kemuliaan, kekuasaan dan istana atau Marwan bin Al-Hakam yang berbalut sifat kejam dan zalim ataukah lelaki Arab yang tenggelam dalam kefakiran, kelaparan dan kesengsaraan ini ?”
Su’da menjawab, “Aku memiliki kenangan manis bersama lelaki ini, cinta yang tak tergoyahkan. Bersamanya aku akan sabar menghadapi kesengsaraan hidup, sebagaimana bersamanya aku mereguk kenikmatan pada saat kebahagiaan menjelang.”
Muawiyah terkagum-kagum dengan kecintaan Su’da pada suaminya yang kini sudah jatuh miskin. Ia kemudian memberi sepuluh dinar dan beberapa lembar pakaian pada wanita tersebut. Hal yang sama juga ia berikan pada suaminya, lalu ia mengembalikan wanita itu pada suaminya dengan akad yang sah.
Maraji’ : Majalah Islam El Fata
Mendengar kabar itu, Muawiyah murka. Beliau menyuruh orang untuk membawa surat kepada Marwan. Surat itu berbunyi, “Aku mendengar bahwa engkau telah bersikap melampaui batas terhadap rakyatmu dan merongrong sebagian kehormatan kaum muslimin. Engkau juga telah melampaui batas yang ditetapkan agama.Semestinya, sebagai seorang gubernur engkau menahan pandangan dari nafsu syahwatmu, mencegah dirimu dari memuaskan dengan segala kelezatan-kelezatan hawa nafsu.”
Beliau melanjutkan, “Alangkah celakah kamu, seandainya ada perkara yang tidak kamu ketahui. Untuk itu mohonlah ampun atas perbuatan para pezina. Si pemuda malang datang kepada kami mengharap pertolongan, mengadukan tentang kesedihan dan duka yang amat teramat dalam.”
“Aku bersumpah kepada Allah dan aku tidak melanggar sumpahku, sungguh. Dan selamatkanlah dirimu dari ancaman dan pembalasanku. Jika kamu menyalahi perintah yang kutuliskan ini, akan aku jadikan dirimu daging panggang. Ceraikan Su’da dan segera serahkan kembali pada mantan suaminya.”
Muawiyah melipat surat itu dan membumbuhi stempel kekhalifahan. Sesaat kemudian, ia memanggil Al-Kamit dan Nadr bin Dzaiban, menyuruh mereka berdua untuk menyampaikan amanatnya. Di madinah, Marwan yang menerima surat itu membacanya dan menangis. Ia menceraikan Su’da dan menyerahkannya kepada Al-Kamit dan Nadr bin Dzaiban. Lalu ia menulis surat jawaban untuk Muawiyah yang bunyinya.
“Jangan terburu-buru menilai, wahai Amirul Mukminin. Sungguh aku telah memenuhi ancaman dengan tulus dan baik. Tidakkah aku mendatangi barang haram yang mengagumkan diriku. Lalu mengapa engkau tuduh diriku sebagai pengkhianat pezina ?”
“Sabarlah, sesungguhnya jika engkau melihatnya, niscaya angan-anganmu mengalir pada sebuah patung manusia. Akan datang kepada tuan, matahari yang tidak ada yang menandinginya. Di hadapan khalifah, baik golongan jin dan manusia.” Ia membumbuhkan cap kegubernuran dan menyerahkan kepada pembantu Muawiyah.
Ketika rombongan sampai di istana, Muawiyah membaca surat Marwan dan penasaran dengan wanita yang bernama Su’da yang telah direbut Marwan dari suaminya. Ketika melihatnya Muawiyah terperanjat. Ia terpikat dengan kecantikannya, keluguan dan keindahan perawakan wanita tersebut. Seketika itu ia jatuh hati dan melamarnya. Tapi Su’da menjawab dengan halus, “Aku ingin menemui suamiku.”
Ketika pria itu datang, Muawiyah bicara padanya, “Wahai pria Arab, apakah engkau masih mencintai Su’da ? aku menawarkan padamu tiga orang dayang istana yang masih gadis sebagai ganti istrimu. Setiap dayang kuberi seribu dinar, dan aku akan memberimu uang yang cukup untuk hidup bersama ketiga dayang itu dari baitul mal setiap tahunnya.”
Jawabnya, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, seandainya engkau beri aku kursi kekhalifaan sekalipun segala isinya, semua itu tidak ada nilainya di sisiku bila dibandingkan dengan Su’da.”
Muawiyah takjub dengan kesetiaan pria ini lantas bertanya pada Su’da. “Mana yang engkau pilih aku, Amirul Mukminin yang diliputi limpahan kemuliaan, kekuasaan dan istana atau Marwan bin Al-Hakam yang berbalut sifat kejam dan zalim ataukah lelaki Arab yang tenggelam dalam kefakiran, kelaparan dan kesengsaraan ini ?”
Su’da menjawab, “Aku memiliki kenangan manis bersama lelaki ini, cinta yang tak tergoyahkan. Bersamanya aku akan sabar menghadapi kesengsaraan hidup, sebagaimana bersamanya aku mereguk kenikmatan pada saat kebahagiaan menjelang.”
Muawiyah terkagum-kagum dengan kecintaan Su’da pada suaminya yang kini sudah jatuh miskin. Ia kemudian memberi sepuluh dinar dan beberapa lembar pakaian pada wanita tersebut. Hal yang sama juga ia berikan pada suaminya, lalu ia mengembalikan wanita itu pada suaminya dengan akad yang sah.
Maraji’ : Majalah Islam El Fata
No comments:
Post a Comment