Laman

Thursday, November 25, 2010

Ujian Itu Melemahkan Imanku


Ini adalah perjalanan hidupku, yang aku goreskan lewat kata-kata, sebab bibir ini telah keluh untuk berucap Malam ini, kulihat jarum jam telah menunjukan pukul 02.00 dini hari, namun aku masih belum bisa memejamkan mataku, bayang-bayang kepiluan selalu mengganggu fikiranku, dan hari ini, adalah hari ke 4 dimana aku telah pergi meninggalkan rumah dan segala kepiluan yang ada dilamannya. Hari ini juga adalah hari yang ke 4 dimana aku telah terpisah dengan istri dan anak-anakku. Kurasakan kerinduan ini teramat mendalam, aku ingin memeluk mereka, aku ingin merengkuh mereka dalam dekapan kasih sayang, namun ternyata aku tak memiliki daya untuk mewujudkannya. Aku terpaksa meninggalkan mereka dengan sebuah alasan yang jelas, aku ingin berihtiar untuk sebuah urusan yang begitu menyesakkan dadaku, dan aku sendiri tak tahu sampai kapan semua ini akan beroleh penyelesaian aku bingung, hatiku kalut, aku seperti orang hina yang mengetuk pintu hati setiap insan untuk meminta pertolongan, yah, pertolongan yang begitu sangat berarti buat hidupku dan keluargaku, namun hingga kini pertolongan itu seolah masih jauh dari hidupku.

Al-kisah...

Tujuh tahun yang lalu, ayahku telah meminjam dana sejumlah Rp. 15.000.000 pada seorang dermawan, karena sebuah desakan kehidupan yang menyeretnya terpaksa harus meng-adakan dana tersebut. Dimana saudarku yang tua meminta segera dinikahkan dengan wanita pujaan hatinya, padahal kondisi keluarga saat itu sangat tidak mendukung, namun kondisi tersebut tak dimengerti oleh kakakku, sehingga bila hasrat hatinya tak dikabulkan oleh ayah, maka rumah kami yang akan menjadi sasaran kemarahannya, yah, dia berniat akan membumihanguskan rumah dan seisinya bila nanti impiannya tak jadi nyata. Itulah mengapa kedua orang tuaku terpaksa harus mengadakan uang tersebut dengan jalan meminjam dari dermawan yang dapat terketuk pintu hatinya. Saat itu, karena aku masih kuliah, sehingga aku tak dapat berkata apapun, selain berdoa semoga orang tuaku dapat melunasi pinjaman tersebut. 

Waktu terus bergulir, hingga masalah itupun usai berlalu, bahkan aku sendiri telah lupa dengan masalah piutang tersebut. Tahun 2006 aku menikah dengan seorang muslimah yg taat, hari-hari kami lalui dengan kebahagiaan, berbagai cobaan kami lalui bersama, hingga lahirlah 2 Jundi mungil dari rahimnya. Alhamdulillah, alangkah bahagianya hatiku saat itu, hingga datanglah musibah ini, dermawan tersebut datang menemui kami dan menagih uang yang dipinjam ayah pada 7 tahun silam, saat itu aku shock, aku tak menyangka kalau ternyata pinjaman itu selama 7 tahun belum dibayar oleh ayah, hingga kondisi beliau saat ini tak memungkinkan lagi untuk membayar pitang tersebut. Faktor usia dan ekonomi yang pas-pasanlah yang menjadi alasannya, hatiku miris mendengarnya, sakit namun perlahan muncul rasa iba dalam hatiku ”Kasihan ayah dia harus mengalami ini dimasa tuanya, haruskah aku berlepas diri dari masalah ini?, sementara dia adalah ayahku, ya Allah kuatkanlah hatiku” itulah ujuarku saat itu. 

Kucoba untuk bermusyawarah dengan kedua saudaraku, mencari solusi yang terbaik untuk melepaskan beban ayah yang kini tengah merong-rong masa tuanya, namun kedua saudaraku tidak memberi respon dan memilih untuk pergi menjauh dari kehidupan kami, karena tak ingin menanggung malu dengan rong-rongan penagih yang setiap hari datang kerumah, aku sangat terpukul, air mataku tak terbendung. Yang ada dalam benakku hanyalah “ayah”, kasihan dia, kuingat betul saat itu, ba’da jum’at aku bermusyawarah dengan istriku, kulihat tak ada guratan sedih diwajahnya, ketegarannya membuat aku kuat dalam menghadapi kemelut hidup ini, bahkan dari bibirnya terucap kata-kata yang begitu bijak, yang telah membuatku lupa, bahwa aku sedang dalam masalah besar. Subhanallah terima kasih ya ALLAH, engkau mengujiku dengan maslaah ini, namun KAU pula telah mengutus penawarnya yang saat ini tengah mendampingiku. Maha Suci Engkau ya Allah. Akhirnya, dengan kesepakatan bersama (aku dan Istri), tabungan yang belum seberapa, yang telah berbulan-bulan lamanya kami tabung untuk mewujudkan Rumah Mungil Impian, kami ikhlaskan untuk membayar tagihan pinjaman tersebut meskipun belum sepenuhnya menutupi, dan istriku telah rela menelan pahitnya kehidupan dengan memulai segalanya dari awal, bahkan terkadang harus merelakan hasrat hati dalam perasaan lapar dan haus, begitu tabahnya dia hingga kesyukuran tak pernah pupus dari bibirku. 

Hingga suatu hari, tepatnya hari selasa 25 Agustus 2009, aku diundang oleh Saudaraku kesurabaya untuk sebuah urusan, yah, Urusan Dakwah, saat undangan itu tiba, hatiku bimbang, aku tak tahu apakah aku harus memenuhi undangan tersebut atau tidak, sementara aku di deadline harus menutupi sisa piutang ayah pada tanggal 5 sepetember 2009, disisi yang lain, istriku tercinta baru 2 pekan lamanya usai melahirkan putra kedua kami. Dalam kebimbangan tersebut, lagi-lagi istriku memotifasi aku untuk memenuhi undangan tersebut, Katanya padaku saat itu “aba, pergilah, tak usah fikirkan umi, sebab Allah akan menjaga kami, dan insya Allah aba selamat hingga pulang nanti, ini adalah bagian dari dakwah, yakinlah bahwa BILA KITA MENOLONG AGAMA ALLAH, MAKA DIA PULA AKAN MENOLONG KITA DARI KESULITAN DAN HIMPITAN HIDUP” kata-kata lembutnya itu yang membuat hatiku yakin untuk memenuhi undangan tersebut. Akhirnya aku silaturahim kesurabaya dengan niat LILLAHI TA’ALAA. 

Hari-hari aku lalui dengan semangat saat berada disana, ukhuwah yang begitu kental dan kemesraan yang indah bersama saudara-saudara seaqidah telah membuatku melupakan masalah yang kutinggalkan di Gorontalo, berbagai aktifitas aku tekuni disana, dan aku sangat menikmatinya, sebab aku melakukan sebuah tugas mulia, hingga pada hari ahad malam tanggal 30 agustus 2009 aku dikagetkan dengan dering handpone yang kupinjam dari sahabatku disana, kulihat ada sebuah panggilan dari nomor yang kukenal, yah, nomor sahabatku dari makassar, perlahan telepon itu aku jawab, kudengar suara diseberang, ternyata suara ayahku, dalam teleponya beliau dengan tersedu dalam tangisannya mengingatkan aku agar segera pulang, karena deadline waktu pelunasan sisa pinjaman tinggal 6 hari lamanya. Mendengar hal tersebut aku jadi panik, kemana lagi aku harus mencari dana sejumlah itu untuk menutupi sisa pinjaman tersebut, akhirnya dengan menanggalkan rasa malu aku mulai berikhtiar pada saudara-saudaraku disana, dan berharap ada angin segar yang dapat membuat aku tersenyum kembali setelah ketegangan dan rasa panik yang menggelayut dihatiku, tapi sepertinya kondisi pula yang membuat mereka tak bisa berbuat banyak, hanya tatapan sedih dan ucapan doa yang keluar dari bibir mereka, Ya ALLAH, lalu aku harus bagaimana?, haruskah aku menyegerakan diri untuk pulang?, sementara masih ada tugas yang harus aku selesaikan disurabaya ini. 

Dengan perasaan sedih aku mengungkapkan niatku untuk segera pulang ke makasar, semua terjadi begitu cepat, hingga hanya dalam hitungan jam aku telah kembali menginjakan kakiku di makassar. Saat pertama kali menapakan kaki ditanah kelahiranku, berbagai perasaan berkecamuk dihatiku, antara bahagia, cemas dan bingung, bahagia karena bisa berkumpul bersama keluargaku, bersama istri dan anak-anakku, serta cemas dan bingung dengan masalah yang sedang menantiku, namun aku berusaha untuk menjalani semuanya, karena ini sudah merupakan garisan hidup yang harus aku lalui, Ya ALLAH berikan aku petunjuk untuk melalui semua ini. Hari-hari mulai aku lewati, jarum jam tak mau kompromi, dia selalu berputar menunaikan kewajibannya. Demi kehormatan keluarga, berbagai cara aku tempuh untuk mencari pinjaman dana, aku bahkan rela berpasrah diri dengan cara mengetuk satu persatu pintu rumah sahabat-sahabatku seiman dan seaqidah disini, namun karena kondisi ekonomi yang pas-pasan, akhirnya hanya rasa simpatik yang terus mengalir untuk keluargaku tanpa ada penyelesaian yang berarti, hingga tanggal 5 itupun tiba, sementara aku belum menemukan pinjaman sepeserpun, bahkan tak ada kabar gembira dari pihak manapun untuk sekedar melepaskan diriku dari himpitan beban ini. 

Pukul 10 pagi kulihat wajah-wajah masam mengetuk pintu rumahku, yah mereka adalah penagi-penagih yang diutus oleh sang rentenir mengih sisa uangnya, ya Allah, kurasakan langit seolah mau runtuh, tak kala aku mengabarkan bahwa aku belum memiliki uang tunai untuk membayar sisa pinjaman tersebut, amarah, umpatan dan cacian mengalir untukku dihadapan puluhan masyarakat yang kebetulan saat itu sedang bermain volly tak jauh dari rumahku, alanghkah malunya aku saat itu, ada rasa benci mulai merayap dalam sum-sum nadiku, benci pada nasib, benci pada hidup dan benci pada diriku sendiri yang tak becus mendapatkan dana itu. Dengan perasaan memelas aku memohon toleransi waktu pada mereka, akhirnya dengan berbekal kebijakan dari big bos mereka, akupun diberikan toleransi waktu 5 hari kedepan, dan harus menepati janjiku melunasi sisa pinajaman tersebut pada tanggal 10 september nanti. Jujur meskipun harga diriku dan keluarga telah terinjak-injak, namun aku berusaha bangkit dan harus tertatih-tatih kembali menengadahkan tanganku bak pengemis yang mengharap belas kasih dari orang-orang kaya, air mataku selalu menetes deras mengiringi setiap langkahku, mengharap ada secercah kebahagiaan yang dapat menyelamatkan aku dari masalah ini. 

Aku mulai memanfaatkan jasa telepon selulerku untuk menghubungi beberapa pengusaha kaya yang kuanggap masih memiliki hati nurani dan belas kasih, kukirim pesan-pesan singatku pada beberpa nomor yang kuanggap masih memiliki rasa sayang padaku dan keluarga, dengan sebuah harapan, semoga ada satu dari sekian nomor tersebut yang akan iba pada deritaku ini, namun lagi-lagi hanya rasa simpatik yang aku dapatkan, tanpa ada ujung peneyelesaian, bahkan tanpa mereka mintapun aku menanggalkan rasa maluku dengan mengirimkan nomor rekening ATM teman yang aku pinjam, juga dengan penuh harapa, agar saldo yang tersisa 10.000 didalamnya bisa bertambah menjadi 6 jutaan. Dengan penuh harap aku selalu datang kemesin ATM untuk sekedar mengecek apa telah ada keajaiban untuk solusi dari maslahku ini, pagi, siang, sore, malam, bahkan tengah malampun aku selalu meluangkan waktuku untuk mengecek rekening ATM tersebut, namun hasilnya masih tetap sama, saldonya tetap Rp. 10.000. air mataku selalu tak bisa kubendung mengetahui kenyataan tersebut, sempat terfikir olehku mengakhiri hidup ini, aku kalut, hatiku kecewa, , ANDAI BUNUH DIRI TERSEBUT BUKALAH DOSA, MAKA MUNGKIN PILIHAN INILAH YANG TELAH KUTEMPUH, aku juga mulai menyadari bahwa aku tak bisa berharap banyak dari mereka, sebab mereka bukan siapa-siapaku, mereka juga bukan keluargaku, sehingga aku tak pantas harus menaruh harapan pada mereka. 

Hingga akhirnya hari jum’at 9 september 2009 pukul 02 dini hari, aku mulai mengemasi pakaianku, aku berniat untuk turun dari rumahku, karena tak kuat menerima hinaan, cacian dan makian dari penagih yang selalu datang kerumah, perlahan kukecup kening istriku yang tertidur pulas, kulihat ada air bening menetes dipipinya, kutatap wajah sendunya, ada guratan-guratan sedih dan letih diwajahnya, perlahan juga aku mengecup kening anak pertamaku ‘Ismail’ namanya, dia adalah anak penurut, yang selalu merasa sedih dan menangis bila sehari tak melihatku, kurasakan air bening mengalir dipipiku, “MAAFKAN PAPA SAYANG, PAPA TERPAKSA MENINGGALKAN KALIAN UNTUK SEMENTARA WAKTU, ABA JANJI BILA NANTI MASALAH INI SELELSAI, PAPA AKAN KEMBALI PADA KALIAN, PAPA AKAN MEMBAHAGIAKAN KALIAN, DAN INSYA ALLAH TIDAK AKAN PERGI LAGI MENINGGALKAN KALIAM, MAAFKAN PAPA NAK”ujarku perlahan samabil memeluk erat anakku yang sementara tertidur pulas, aku yakin, besok pagi ketika dia bangun dari tidurnya, pasti orang pertama yang akan dicarinya adalah aku, kemudian perlahan pula aku medekap anak keduaku yang baru lahir sebulan lalu, air mataku kembali tak bisa kubendung. Kasihan dia, seharusnya sebagai seorang ayah aku berada disamping mereka saat ini, tapi apa boleh buat, semua harus kujalani, tak ada pilihan lain lagi bagiku, kusisipkan sepucuk surat didekat istriku yang terbaring letih ”MA, MAAFKAN PAPA SAYANG, PAPA JANJI INSYA ALLAH AKAN KEMBALI, JAGA ANAK-ANAK KITA YA, JAGA DIRI KALIAN BAIK-BAIK YA, PAPA AKAN SELALU BERDOA BUAT KALIAN, SEMOGA KITA AKAN TERLEPAS DARI BEBAN INI, DAN AKAN BERKUMPUL KEMBALI NANTI”, 

Akhirnya dengan menenteng beberapa potong pakaian aku mulai melangkahkan kakiku meninggalkan rumah, malam itu aku langgsung mendatangi mesin ATM untuk yang kesekian kalinya, tetapi hasilnya masih sama. Tanggal 10 akhirnya tiba juga, dan kenyataan pahit tak dapat dielakkan, ketika emosi tak terbendung lagi, kudengar kabar bahwa satu persatu perabot isi rumahku telah dieksekusi, dijemput sebagai jaminan, bagiku mungkin prabot itu tak berarti apa-apa, namun harga diri kami yang telah terinjak-injak bagiku begitu sulit untuk kuterima, apalagi eksekusi itu kembali terjadi pada siang hari dan dihadapan orang banyak, meski dari jarak yang sangat jauh, namun rasa kecewa dan malu itu tak bisa aku sembunyikan. Hari-hari aku lalui dengan kesedihan, aku hanya berharap semoga istri dan anak-anakku dalam keadaan baik-baik dirumah, dengan perasaan sedih aku kembali mendatangi mesin ATM untuk mengecek kembali isi rekening itu, tetapi hasilnya masih sama, hingga akhirnya aku telah pasrah, mungkin inilah jalan hidup yang harus aku tempuh, dengan perasaan lunglai aku tersungkur didekat mesin ATM, kulihat arloji ditanganku menunjukan pukul 23.00. 

Beberapa saat kemudian aku mendengar sebuah sapaan suara asing yang ternyata adalah seorang lelaki paro baya, TOMMY namanya, pria ini ternyata sudah beberapa hari ini memperhatikan gelagatku, rasa kalut yang menderaku, dan itu membuatnya terenyuh, disapanya aku dengan tuturnya yang lembut, akhirnya percakapan singkatpun terjadi, aku mulai bertutur tentang masalah yang kuhadapi saat itu, dengan seksama TOMMY mendengarkan kisahku, kulihat air matanya menetes, keakrabanpun terjalin, hingga TOMMY mengakui bahwa dia adalah AKTIFIS GEREJA dan siap membantuku keluar dari masalah yang kuhadapi tersebut, segala kebutuhanku akan dipenuhinya, apapun yang aku mau akan diturutinya, namun dengan sebuah syarat, bahwa aku harus ikut agamanya dan meyakini tuhannya, gemetar tubuhku mendengar syarat tersebut, namun perasaan kecewa, marah, dan sakit telah menguasai nalarku, hingga tanpa berfikir panjang aku mengiyakan syarat tersebut, aku telah lemah, imanku goyah, hatiku mulai luluh, MENGAPA SAUDARAKU SEIMAN DAN SEAQIDAH SEOLAH TAK SUDI MELEPASKAN AKU DARI BEBAN HIDUP INI, SEMENTARA DIA, ORANG YANG BARU SAJA AKU KENAL DENGAN BEGITU MUDAHNYA MEMBERI PENAWAR ATAS KELUKAAN YANG AKU RASAKAN, 

Akhirnya kesepakatanpun terjadi, aku diminta datang kegerajanya hari ahad tanggal 13 september pukul 10.00 pagi untuk menandatangani sebuah kontrak yang masih kurang jelas bagiku, sebagai langkah awal dan tanda bahwa aku telah menyepakati syarat tersebut. Aku mulai menanggalkan satu persatu simbol-simbol islam dalam diriku, dengan tangan gemetar, dihadapannya aku meraih sebilah gunting dan mulai mencukur jenggotku, aku mulai menanamkan pesan-pesan penting dalam diriku, bahwa yang menyelamatkan aku saat ini bukan saudara dari agamaku, tetapi dari agama lain, aku mulai melalaikan satu persatu waktu sholat yang selama ini tak pernah lepas dari aktifitasku, YA ALLAH AKU CINTA PADAMU, AKU CINTA AGAMAMU, AKU CINTA SELURUHNYA TENTANGMU, TETAPI AKU TELAH KECEWA DENGAN SEMUA INI, setelah kejadian itu, hari-hari aku lalui dengan kehampaan dan kepedihan, aku bingung, aku malu pada diriku sendiri yang telah picik menggadaikan agamaku demi sebuah kebahagiaan, tapi disisi lain apa yang harus aku lakukan?, berbagai ikhtiar telah aku lakukan, tapi tak ada satupun yang membuahkan hasil. 

Hingga akhirnya hari ahad itupun tiba, pukul 09.00 pagi aku mulai bersiap-siap menuju ketempat dimana pak tommy menunggu aku, perasaanku tak menentu, air mataku menetes deras YA ALLAH masih adakah pertolongan bagiku sebelum akhirnya segalanya terlepas dari diriku?, lama aku terpaku dalam gejolak jiwa yang bergemuruh, hingga akhirnya kulihat jarum jam menunjukan pukul 09.45 menit, sementara aku masih belum beranjak, kulihat 15 panggilan tak terjawab dari pak tommy YA ALLAH tolonglah aku. Saat itu perasaanku semakin bergemuruh dan tak menentu…tiba-tiba kurasakan kepalaku pening dan dunia kurasakan mulai gelap semua gelap dan gelap hingga aku tak ingat apapun. 

Semilir angin bertiup menerpa wajahku, kudengar suara azan berkumandang aku mencoba mengingat-ingat kembali beberapa peristiwa sebelum aku tersungkur pingsan kulirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganku, pukul 12.30 ya ALLAH, berarti telah masuk maktu sholat zhuhur, kuperhatikan kembali hpku ada 45 panggilan takterjawab dan 6 pesan singkat dari pak tommy sepertinya dia kecewa dengan janji yang tidak kutunaikan, dan SUBHANALLAH ada pesan ke 7 dari sebuah nomor yang tidak asing lagi bagiku, nomor salah seorang saudara yang mengabarkan bahwa dia memintaku untuk datang kerumahnya ba’da zhuhur, katanya dia memiliki kelebihan materi dan siap membantuku, terima kasih ya ALLAH engkau telah menolongku dari kesulitan hidup ini terima kasih. Semoga semua ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi diriku…

Itulah sepenggal kisah yang baru saja aku lewati, sungguh begitu sulit, tapi aku hanyalah manusia biasa yang tak memiliki daya, sulit dipercaya memang tapi inilah realita yang benar-benar terjadi dalam hidupku, Ya Allah KAU ada dalam setiap helaan nafasku, KAU ada dalam setiap detak jantungku, mungkin benar, aku terlalu rapuh, imanku terlalu lemah, tapi semua tak bisa kuelakkan, hanya ada satu sahabat yang padanya aku telah menceritakan semua ini IVAN namanya, dia sahabat yang baik, kudoakan semoga kau tak akan mengalami nasib pahit seperti ini.

Sumber : Suarawahdah.com

6 comments:

  1. untung ya dia pingsan kalau gak...hmmmmm...nauzubillahiminzalik
    Alhamdulillah Allah sayang sekali padanya :)

    ReplyDelete
  2. Bagaimana tidak pingsan, aqidah yang harus dipertaruhkan, akhirnya beliau pingsan. Iya, Allah memang sayang padanya, ikhwa itu tak henti-hentinya berharap kepada Allah. ^_^

    ReplyDelete
  3. ya ampuuun, kisahnya bikin aku terharu...
    ampe gak nyadar mataku sampe berkaca2 membacanya...

    jgn sampe deh, kita menggadaikan agama kita...

    ReplyDelete
  4. Semua juga yang membaca kisah ini membuat air mata menangis,,,

    iy bener itu

    ReplyDelete
  5. sangat bagus! kisah ini boleh dijadikan tauladan.. mohon share...

    ReplyDelete
  6. silahkan ukhti, semoga bisa bermanfaat

    ReplyDelete