Laman

Wednesday, June 15, 2011

Bongkar Tuntas Kebobrokan HAM

Ide HAM saat ini sudah menjadi mainstream dunia dan harus diadopsi oleh siapa saja dan negara mana saja. Ide HAM terlanjur dianggap sebagai ide “sakral” yang membebaskan. Benarkah demikian? Realita menunjukkan banyak penindasan dan agresi dilakukan atas nama HAM. Intervensi dan pendiktean terhadap negara lain bahkan pengerukan kekayaannya tidak jarang diembel-embeli ide HAM. Itu mengindikasikan ada yang salah dalam ide HAM, dan pelaksanaannya pun bobrok.

Untuk menguak lebih jauh tentang kesalahan dan kebobrokan ide HAM, berikut petikan wawancara dengan Ust. H. M. Ismail Yusanto, Juru bicara HTI.

Saat ini ide HAM seakan sudah dianggap “sakral” oleh kebanyakan orang di dunia. Bagaimana pandangan Ustadz?

Pensakralan ide HAM tidak bisa dilepaskan dari hegemoni negara Barat, terutama AS, atas dunia ini di segala bidang, khususnya di bidang politik, ekonomi dan informasi. Di bawah hegemoni semacam itulah dicekokkan kepada manusia di seluruh dunia tentang ide HAM; bahwa ini adalah ide yang mulia, yang harus dijunjung tinggi dan dihormati serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Siapa saja yang menolak akan tampak buruk dan dianggap tidak beradab. Ingat, ide yang jelek bila terus menerus dijejalkan, lambat-laun akan dianggap baik; dan yang baik bisa dianggap jelek. Begitulah kira-kira yang sekarang ini tengah terjadi. Dan kita sedang terjerumus kesana. Kita ikut saja membenarkan setiap tindakan zalim mereka yang jelas-jelas melanggar HAM. Menyerang negara lain dikatakan sebagai tindakan pre-emptive strike. Membunuh orang dikatakan sebagai sedang menghancurkan sarang terorisme. Penghinaan terhadap Nabi saw. harap diterima karena ini bagian dari kebebasan berekspresi. Permainan gila-gilaan para spekulan di pasar uang yang nyaris menenggelamkan ekonomi dunia dikatakan sebagai kebebasan berinvestasi. Pelacuran dikatakan profesi seks komersial. Walhasil, buat sebagian orang semua itu tidak lagi dilihat sebagai sebuah kesalahan. Meski begitu, saya sangat yakin, masih banyak orang yang waras. Bagi mereka propaganda gencar semacam itu tidaklah mampu menutupi kesalahan ide HAM, baik dari segi teroritik maupun praktiknya.

Ada yang mengatakan kalau ide HAM itu benar, yang salah adalah praktiknya. Apakah memang seperti itu?

Ide HAM bukan hanya bermasalah dari segi praktik, tetapi juga dari segi teori. Bahkan kita bisa mengatakan bahwa kebobrokan praktik HAM justru berawal dari kesalahan teoretik. Kesalahan mendasar konsep HAM adalah pada pandangan terhadap manusia; bahwa manusia dilahirkan semata dipandang sebagai pribadi yang bebas dan memiliki hak-hak asasi yang melekat pada dirinya. Kebebasan serta hak asasi itu itu harus dijaga, bahkan juga oleh negara. Dari sana lahir paham liberalisme atau kebebasan. Paham ini kemudian melahirkan turunan berupa paham kebebasan berpikir (hurriyah al-fikr), kebebasan pribadi (hurriyah asy-syakhsiyyah), kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk), kebebasan beragama dan lainnya. Persoalan muncul, seberapa besar sesungguhnya kebebasan dan hak asasi itu ada dan bagaimana mewujudkannya. Batas itu ternyata tidak ada atau sangatlah kabur. Fakta real menunjukkan hal itu.

Selama ini apakah memang tidak ada rujukan baku bagi HAM?

Tidak ada. Kalau pun ada, biasanya orang menyebut Bill of Rights, Declaration of Human Rights, Magna Charta atau sejumlah konvensi internasional tentang berbagai aspek dari perlindungan terhadap HAM. Namun, itu hanya berhenti pada poin-poin filosofis. Bagaimana konsep detailnya tidaklah jelas. Apalagi standar implementasinya. Karena itu, wajar sekali bila kemudian konsepsi HAM sangatlah interpretatif dan bias kepentingan. Interpretasi mana yang akan dipakai sangat bergantung pada pihak yang kuat dan kepentingan apa yang mau dicapai. Di sinilah jargon might is right (siapa yang kuat dialah yang benar) menemukan realitasnya.

Ide apapun kalau tidak memiliki metode penerapannya hanya akan menjadi ilusi. Bagaimana dengan HAM?

Benar. Ide HAM memang hanya ilusi. Akibatnya, ide HAM dalam tataran praktis tidak bisa menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, kerusakan, ketidakadilan dan keonaran muncul di mana-mana. Ide ini juga memunculkan kontroversi (misalnya soal aborsi dan kawin sesama jenis) dan kontradiksi tiada henti tentang berbagai hal di masyarakat, seperti antara individualisme dan kolektivisme, antara nasionalitas dan internasionalitas dan antara partikularitas dan universalitas, antara praktik HAM pada satu kelompok (Muslim) dibandingkan dengan pada kelompok lain (non-Muslim) dan sebagainya.

Lalu bagaimana hubungan HAM dengan imperialisme?

HAM memang telah dijadikan alat imperialisme modern. Negara adikuasa acap melakukan sesuatu dengan dalih menegakkan HAM. Contoh paling telanjang adalah serangan terhadap Afganistan pasca Tragedi WTC dan terhadap Irak. Tindakan barbar yang menimbulkan ratusan ribu korban dan kehancuran sipil itu dikatakan untuk mewujudkan hak untuk mempertahankan diri dari serangan teroris—tanpa perlu lagi diteliti apa hubungan Afganistan dengan terorisme dan Tragedi WTC, serta apakah betul ada senjata pemusnah massal di Irak (yang ternyata belakangan terbukti itu hanya bualan Bush). Begitu juga penjajahan dan penindasan Israel atas bangsa Palestina dilakukan atas nama hak hidup bangsa Yahudi. Intervensi kepada Pemerintah Indonesia juga sering dilakukan dengan alasan melindungi HAM atau memburu pelaku pelanggaran HAM, misalnya dalam kasus kerusuhan pasca jajak pendapat Timor Timur. Perlindungan terhadap Alex Manuputy, tokoh RMS, juga dilakukan atas nama HAM.

Secara praktis, bisa dijelaskan seperti apa kebobrokan HAM itu?

Secara praktis HAM telah menimbulkan proses dehumanisasi yang sangat mengerikan, keguncangan ekonomi, ketegangan serta keonaran politik dan militer di dunia. Seks bebas, aborsi, nikah sesama jenis, lesbianisme dan homoseksualitas dan sejumlah bentuk perilaku menyimpang lain adalah sebagian dari budaya yang berkembang di tengah masyarakat sekular yang begitu mengagungkan HAM.

Bukan hanya itu, dengan alasan kebebasan berekspresi mereka tidak segan-segan memperolok-olok ajaran, simbol dan keyakinan agama, terutama Islam. Berulang-ulangnya penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw. dan munculnya pembelaan terhadap aliran sesat seperti Ahmadiyah, Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyah dan lainnya jelas sekali dipicu oleh pemahaman semacam ini.

Akibat tidak jelasnya konsepsi dan implementasi HAM, masyarakat di Barat juga terus didera pertentangan antar kelompok masyarakat. Misalnya soal aborsi. Kelompok anti aborsi, biasa disebut kelompok pro-live, menolak aborsi dengan alasan bahwa janin memiliki hak untuk hidup. Sebaliknya, kelompok yang mendukung aborsi, biasa disebut kelompok pro-choice, berpendapat bahwa melanjutkan kehamilan atau tidak adalah pilihan; perempuan memiliki hak untuk memilih. Karenanya, melarang aborsi berarti telah membatasi hak untuk memilih. Runyam, kan?

Contoh lain, soal pernikahan sesama jenis (same-sex marriage). Sebagian besar masyarakat yang masih memegang nilai-nilai kemanusiaan tentu akan menolak perkawinan semacam ini; dan karena itu harus dilarang. Namun, sebagian yang lain, dan kelompok ini tampaknya makin membesar, menolak pelarangan itu karena dianggap melanggar hak asasi manusia. Di beberapa tempat, seperti di negara bagian Massachusset AS dan di Inggris, kelompok yang pro pernikahan sesama jenis tampaknya lebih kuat. Buktinya, di sana hal itu sekarang telah dilegalkan.

Hal ini, di samping menimbulkan problem psikologis dan hukum, penyimpangan-penyimpangan itu juga ternyata berdampak pada kondisi demografi. Angka pertumbuhan penduduk terus menurun. Bahkan di beberapa negara Eropa seperti Prancis dan Italia, pertumbuhan penduduk mendekati angka nol. Artinya, jumlah orang yang meninggal sama dengan yang lahir. Tingkat kelahiran bayi memang menjadi problem di sana, karena bagaimana akan lahir generasi baru bila orang mau kawin tapi tidak mau menikah. Kalaupun menikah, tidak mau punya anak. Kalau punya anak, paling satu atau dua. Apalagi bila kawin dengan sesama jenis. Dari mana akan lahir anak?

Situasi seperti ini sangat mencemaskan para pemimpin negara-negara itu. Penduduk yang ada tentu makin lama makin tua. Lantas siapa yang bakal menggantikan mereka? Siapa yang akan menjadi tentara, pegawai negeri dan sebagainya?

Yang paling konyol tentu saja praktik HAM oleh negara Barat. Mereka gembar-gembor bahwa kita harus menghormati HAM, tetapi mereka sendiri seenaknya menyerang bahkan menghancurkan negara lain, membunuh warganya tanpa alasan yang benar; menahan orang dan memperlakukannya secara semena-mena. Lihatlah apa yang terjadi di Irak, Afganistan, Palestina dan di tempat lain; juga di Guantanamo dan penjara Abu Ghraib. Tak aneh bila menurut Amnesti Internasional, AS adalah negara pelanggar HAM terbesar di dunia. Bukankah semua itu merupakan bukti yang sangat nyata tentang kebobrokan pelaksanaan HAM? Bagaimana kita mau menerima keadaan seperti ini?

Ada yang menilai, menolak HAM berarti mendukung penindasan dan ketidakadilan atau tidak menghormati hak manusia. Menurut Ustadz?

Betul itu. Hanya soalnya, HAM dalam pengertian seperti apa. Kalau HAM dalam pengertian dan praktik seperti dijelaskan di atas, justru itulah yang telah terbukti menimbulkan penindasan, ketidakadilan dan penistaan terhadap harkat dan martabat manusia. Bukankah yang dilakukan oleh AS dan sekutunya di berbagai tempat tadi telah menimbulkan penderitaan dan penindasan luar biasa di sana? Bagaimana bisa dikatakan menghormati martabat manusia, membiarkan manusia menikah dengan sejenisnya? Hewan yang paling jelek sekalipun tidak pernah melakukan tindakan bodoh semacam itu. Jadi, penolakan kita terhadap ide HAM tadi justru untuk menghapuskan penindasan, ketidakadilan dan pelecehan terhadap harkat manusia yang selama ini terjadi, yang dilakukan atas nama HAM

Jadi bagaimana kaum Muslim harus bersikap terhadap ide HAM?

Tentu saja harus bersikap kritis. Tidak boleh kita terima mentah-mentah begitu. Bahkan sejatinya, bila kita memahami Islam dengan benar, kita sesungguhnya sama sekali tidak memerlukan ide semacam itu. Kita sebagai Muslim memiliki pandangan yang khas tentang manusia, hak asasi manusia dan bagaimana cara menghormati dan menjaganya. Semua pandangan itu bersumber dari Zat Yang Mahatahu, itulah al-Quran dan as-Sunnah.

Kalau HAM harus ditolak, lalu bagaimana menjaga hak-hak manusia tanpa HAM?

Tentu saja harus ada aturan. Aturan itu mestilah bersifat universal dan lahir dari sumber yang sangat tahu tentang bagaimana mengatur hidup manusia dan menjaga hak-hak asasinya. Itulah syariah Islam yang bersumber dari Sang Pencipta tadi.

Bagaimana sebetulnya pandangan Islam tentang hak-hak manusia?

Secara filosofis, pandangan Islam tentang hak-hak asasi manusia sesungguhnya tidaklah berbeda dengan apa yang orang sebut sebagai HAM itu. Bahwa sesungguhnya manusia lahir dalam keadaan merdeka. Namun, di samping mengakui bahwa manusia memang lahir sebagai manusia yang bebas, Islam juga mengingatkan bahwa manusia diciptakan sebagai hamba untuk diminta mengabdi kepada Sang Pencipta. Karenanya, manusia itu bebas tapi sekaligus terikat dengan aturan Sang pencipta itu. Hidup dalam keterikatan pada aturan Sang Pencipta itulah makna mengabdi dan tujuan hakiki dari kehidupan manusia. Dalam kerangka seperti itulah hak-hak asasi dan kebebasan manusia diletakkan.

Maka dari itu, semua hak asasi manusia—seperti hak untuk hidup dan memiliki penghidupan, hak untuk beragama, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk berhubungan dengan lawan jenis, membentuk keluarga dan menghasilkan keturunan; hak politik untuk menyampaikan pendapat dan melakukan kritik kepada penguasa; hak untuk mengekspresikan rasa seni; dan sebagainya—harus dilaksanakan atau diwujudkan di bawah aturan Allah Swt. Hanya dengan itu saja manusia bisa merasakan kemaslahatan atau kebaikan.

Lalu bagaimana metode Islam menjaga hak-hak manusia itu?

Islam menjaga hak-hak asasi manusia melalui penerapan syariah. Islam, misalnya, memberi kebebasan kepada manusia mau beriman atau tidak. Namun, sekali masuk Islam, orang tidak bisa keluar begitu saja. Islam juga melarang membunuh atau melukai manusia siapapun tanpa alasan yang benar. Namun, tidak berarti lantas dengan itu menolak hukuman mati. Dalam hal tertentu, seperti terhadap orang yang telah membunuh orang lain tanpa alasan yang benar, menimbulkan keonaran hebat di tengah masyarakat, menentang pemerintahan yang sah, menghina nabi, yang sudah menikah berzina, melakukan homoseksualitas, hukuman mati wajib dilakukan.

Orang boleh dengan bebas mendapatkan, menggunakan dan mengembangkan hartanya, tetapi harus dengan jalan yang dihalalkan oleh syariah. Orang boleh melakukan aktivitas apa saja; berpakaian, menikah atau bergaul dengan orang yang disukai; tetapi tidak boleh bertentangan dengan syariah. Silakan memilih model dan warna pakaian yang disukai asal menutup aurat. Silakan menikah dengan yang dicintai, asal berlainan jenis dan lelaki Muslim untuk perempuan Muslim. Silakan membentuk organisasi atau kelompok asal berdasar Islam dan untuk tujuan kebaikan. Mengkritik penguasa bukan hanya boleh bahkan disebut sebagai bagian dari kewajiban dakwah setiap warga negara. Dengan itu kebaikan akan tegak.

Demikianlah Islam dengan syariahnya menjaga dan mewujudkan hak asasi manusia sehingga kerahmatan untuk semua dapat benar-benar diwujudkan. [HM Ismail Yusanto; Jubir HTI]

Sumber : http://moslemgen.multiply.com/

No comments:

Post a Comment