Kisah ini terjadi empat tahun yang lalu, dan pernah di publikasikan di salah satu majalah islam remaja yaitu El Fata. Bahkan menjadi salah satu kisah yang mendapatkan sambutan yang baik, termasuk juga kisah favorit saya dan berniat untuk menampilkan di blog saya. Kisah ini saya bagi menjadi 2 edisi. Maka biarkanlah si pena (Adhit) yang menceritakan kisah mengharukannya.
Awalnya, aku bertemu dengannya di sebuah acara yang diselenggarakan di rumahku sendiri. Gadis itu sangat berbeda dengan cewek-cewek lain yang sibuk berbicara dengan laki-laki dan berpasangan-pasangan. Sedangkan dia dengan pakaian muslimah rapi yang dikenakannya membantu mamaku menyiapkan hidangan dan segala kebutuhan dalam acara tersebut. Sesekali gadis itu bermain di taman bersama anak-anak kecil yang lucu, kulihat betapa lembutnya dia dengan senyuman manis kepada anak-anak.
Dari sikapnya itu aku tertarik untuk mengenalnya. Akhirnya aku dengan pedenya kuberanikan diri untuk mendekatinya dan hendak berkenalan dengannya. Namun, kenyataannya dia menolak bersalaman denganku, dan Cuma mengatakan, "Maaf…" dan berlalu begitu saja meninggalkanku.
Betapa malunya aku terhadap teman-teman yang berada di sekitarku. "Ini cewek kok jual mahal banget! Padahal begitu banyak cewek yang justru berlomba-lomba mau menjadi pacarku. Dia, mau kenalan saja tidak mau!" ujarku.
Dari kejadian itu aku menjadi penasaran dengan gadis tersebut. Lalu aku mencari tahu tentangnya. Ternyata dia adalah anak tunggal sahabat rekan bisnis papa. Setiap ada acara pertemuan di rumah gadis itu, aku selalu ikut bersama papa.
Gadis itu bernama Nina, kuliah di fakultas kedokteran dan dia anak yang tidak suka berpesta, berfoya-foya, dan keluyuran seperti cewek kebanyakan dikalangan kami. Aku pun jarang melihatnya jika aku pergi ke rumahnya, dengan berbagai alasan yang kudengar dari pembantunya, sakitlah, lagi mengerjakan tugas, atau kecapaian, pokoknya, dia tidak pernah mau keluar.
Hingga suatu hari aku dan papa sedang bertamu ke rumahnya. Pada saat itu, Nina baru saja pulang dengan busana muslimahnya yang rapi, terlihat turun dari mobil, namun belum jauh melangkah dia pun terjatuh pingsan dan mukanya terlihat sangat pucat. Kami yang berada di ruang tamu bergegas keluar dan papanya pun menggendong ke kamar serta meminta tolong kami untuk menghubungi dokter. Dari hasil pemeriksaan dokter, Nina harus dirawat di rumah sakit.
Keesokan harinya, aku datang ke rumah sakit bermaksud untuk menjenguknya. Betapa kagetnya aku ketika kutahu Nina terkena leukimia (kanker darah). Aku bertanya, "Kenapa gadis selembut dan sesopan dia harus mengalami hal itu?"
Perasaan kesalku padanya kini berubah menjadi kasihan dan khawatir. Setiap usai kuliah, kusempatkan untuk datang menjenguknya. Aku mendapatinya sering menangis sendirian. Entah itu karena tidak ada yang menjaganya atau karena penyakit yang diderita.
Beberapa hari di rumah sakit, Nina memintaku keluar setiap kali aku masuk. Akupun mendatanginya di rumah, tapi dia tidak pernah mau keluar menemuiku dan hanya mengurung diri di dalam kamar. Aku tidak menyerah begitu saja, kucoba menelpon Nina dan berharap dia mau bicara denganku. Namun, dia tetap tidak mau mengangkat telepon dariku, lalu kukirimkan SMS padanya agar dia mau jadi pacarku, tetapi tidak ada balasan malah HP-nya dinonaktifkan semalaman.
Keesokan harinya aku nekat datang ke rumahnya untuk meminta maaf atas kelancanganku. Ternyata ia akan berangkat ke Makassar, ke kampung orang tuanya. Karena orang tuanya tidak dapat mengantarnya, akupun menawarkan diri untuk mengantarnya, namun Nina lebih memilih naik taksi dengan alasan tidak mau merepotkan orang lain. Sebelum naik ke mobil, dia menitipkan kertas untukku kepada mamanya.
Alangkah hancurnya hatiku ketika membaca sebait kalimat yang berbunyi, "Maaf saat ini aku hanya ingin berkonsentrasi untuk kuliah." Hatiku remuk dan aku pulang dengan perasaan kesal sekali. Ini pertama kalinya aku ingin pacaran, tapi ditolak. Sebenarnya, aku tidak begitu suka dengan hubungan pacaran seperti itu karena begitu banyak dampak negatifnya, sampai ada yang rela bunuh diri karena ditinggal kekasihnya –naudzubillahi min dzalik-
Namun entah ketika aku melihat Nina hatiku pun tergoda untuk menjalin hubungan itu.
Sejak perpisahan itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya sampai gelar sarjana aku raih. Lalu akupun bekerja di perusahaan milik keluargaku sebagai satu-satunya ahli waris. Melihat ketekunanku bekerja, papa Nina menyukaiku hingga hubungan kami akrab dan kuutarakan maksudku bahwa aku menyukai Nina, anaknya, dan ternyata papa Nina setuju untuk menjadikanku sebagai menantunya.
24 oktober 2006, bertepatan dengan hari raya idul fitri, aku dan orang tuaku bersilaturahmi ke rumah keluarga Nina dengan maksud membicarakan perjodohan antara aku dan Nina. Tapi pada saat itu Nina baru dirawat di rumah sakit sejak bulan Ramadhan. Saat kutemui, Nina terlihat sangat pucat, lemah, dan senyumnya seakan hilang dari bibirnya. Hari itu orang tua kami resmi menjodohkan kami. Bahkan aku diminta untuk menjaganya karena orang tuanya akan berangkat ke luar negeri. Tetapi Nina tidak pernah mau meladeniku.
Suatu hari aku melihat Nina kesakitan, terlihat darah keluar dari hidung dan mulutnya. Aku bermaksud untuk membantu mengusap darah dan keringat yang ada di wajahnya, tetapi secara spontan dia menamparku pada saat aku menyentuh wajahnya. Betapa kaget diriku dibuatnya, aku tidak menyangka sama sekali Nina akan menamparku. Sungguh betapa istiqomahnya dia dalam menjaga kehormatan untuk tidak disentuh oleh laki-laki yang bukan muhrimnya. Saat itu aku belum mengetahui tentang masalah ini dalam agama.
Kejadian tersebut secara tak sengaja terlihat mama Nina, maka Nina pun dimarahi habis-habisan hingga sebuah tamparan mendarat di pipinya. Kulihat Nina segera melepas infusnya dan berlari menuju kamar mandi. Nina pun mengurung diri di kamar mandi tersebut. Dengan terpaksa kami mendobrak kamar mandi dan kami dapati Nina tergeletak di lantai tak sadarkan diri karena terlalu banyak darah yang keluar.
Setelah sadar, aku berusaha bicara dan meminta maaf kepadanya atas kejadian tadi, namun Nina terus-terusan menangis. Akupun bertambah bingung, apa yang mesti aku lakukan untuk menenangkannya. Tanpa pikar panjang aku memeluknya, tapi Nina malah mendorongku dengan keras dan berlari keluar dari kamar dan menuju taman. Ketika kudekati Nina berteriak hingga menjadikan orang-orang memukuliku karena menyangka aku mengganggu Nina. Karena itulah, Nina semalaman tidur di taman dan aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Setelah waktu subuh menjelang kulihat Nina beranjak untuk melaksanakan shalat subuh di masjid, akupun turut shalat. Namun setelah shalat tiba-tiba Nina menghilang entah ke mana. Aku mencarinya berkeliling rumah sakit tersebut. Dan lama berselang kulihat banyak kerumunan orang dan ternyata Nina tak sadarkan diri tergeletak dengan HP yang berada di sampingnya, sepertinya dia barusan telah berbicara dengan seseorang. Keadaan Nina saat itu sedang kritis sehingga pernafasan harus di bantu dengan oksigen. Kata dokter, paru-paru Nina basah dan mungkin diakibatkan semalaman tidur di taman.
Nina tak kunjung juga sadar. Dengan perasaan khawatir dan bingung aku berdoa dengan menatap wajahnya yang pucat pasi…
Tiba-tiba ada sebuah sms yang masuk ke hp Nina, tanpa sadar akupun membaca dan membalas sms tersebut. Aku juga membaca beberapa sms yang masuk ke hpnya dan aku sangat terharu dengan isinya, ternyata banyak sekali orang yang menyayanginya. Di antaranya adalah orang yang bernama Ukhti. Dulu sebelum aku mengetahui Ukhti adalah panggilan untuk saudari perempuan, aku sempat cemburu dibuatnya. Aku mengira Ukhti adalah pacar Nina yang menjadi alasan dia menolakku.
Setelah Nina tersadar dari pingsannya, aku menunjukkan sms yang dikirim saudari-saudarinya dan dia sangat marah ketika tahu aku sudah membaca dan membalas sms dari saudari-saudarinya. Diapun akhirnya melarangku untuk memegang hpnya apalagi mengangkat atau menghubungi saudari-saudarinya.
Namun, tetap saja aku sering ber sms- an dengan saudari-saudarinya untuk mengetahui kenapa sikap Nina begini dan begitu. Dari sinilah aku mendapat sebuah jawaban bahwa Nina tidak mau bersentuhan apalagi berduaan denganku karena aku bukan mahramnya dan Nina menolak untuk berpacaran serta bertunangan denganku karena di dalam Islam tidak ada hal-hal seperti itu dan hal itu merupakan kebiasaan orang-orang Non-Muslim.
Aku tahu juga Nina mencari seorang Ikwan yang mencintai karena Allah bukan atas dasar hawa nafsu. Akhirnya aku tahu sikap Nina selama ini semata-mata dia hanya ingin menjalankan syariat Islam secara benar.
Awalnya, aku bertemu dengannya di sebuah acara yang diselenggarakan di rumahku sendiri. Gadis itu sangat berbeda dengan cewek-cewek lain yang sibuk berbicara dengan laki-laki dan berpasangan-pasangan. Sedangkan dia dengan pakaian muslimah rapi yang dikenakannya membantu mamaku menyiapkan hidangan dan segala kebutuhan dalam acara tersebut. Sesekali gadis itu bermain di taman bersama anak-anak kecil yang lucu, kulihat betapa lembutnya dia dengan senyuman manis kepada anak-anak.
Dari sikapnya itu aku tertarik untuk mengenalnya. Akhirnya aku dengan pedenya kuberanikan diri untuk mendekatinya dan hendak berkenalan dengannya. Namun, kenyataannya dia menolak bersalaman denganku, dan Cuma mengatakan, "Maaf…" dan berlalu begitu saja meninggalkanku.
Betapa malunya aku terhadap teman-teman yang berada di sekitarku. "Ini cewek kok jual mahal banget! Padahal begitu banyak cewek yang justru berlomba-lomba mau menjadi pacarku. Dia, mau kenalan saja tidak mau!" ujarku.
Dari kejadian itu aku menjadi penasaran dengan gadis tersebut. Lalu aku mencari tahu tentangnya. Ternyata dia adalah anak tunggal sahabat rekan bisnis papa. Setiap ada acara pertemuan di rumah gadis itu, aku selalu ikut bersama papa.
Gadis itu bernama Nina, kuliah di fakultas kedokteran dan dia anak yang tidak suka berpesta, berfoya-foya, dan keluyuran seperti cewek kebanyakan dikalangan kami. Aku pun jarang melihatnya jika aku pergi ke rumahnya, dengan berbagai alasan yang kudengar dari pembantunya, sakitlah, lagi mengerjakan tugas, atau kecapaian, pokoknya, dia tidak pernah mau keluar.
Hingga suatu hari aku dan papa sedang bertamu ke rumahnya. Pada saat itu, Nina baru saja pulang dengan busana muslimahnya yang rapi, terlihat turun dari mobil, namun belum jauh melangkah dia pun terjatuh pingsan dan mukanya terlihat sangat pucat. Kami yang berada di ruang tamu bergegas keluar dan papanya pun menggendong ke kamar serta meminta tolong kami untuk menghubungi dokter. Dari hasil pemeriksaan dokter, Nina harus dirawat di rumah sakit.
Keesokan harinya, aku datang ke rumah sakit bermaksud untuk menjenguknya. Betapa kagetnya aku ketika kutahu Nina terkena leukimia (kanker darah). Aku bertanya, "Kenapa gadis selembut dan sesopan dia harus mengalami hal itu?"
Perasaan kesalku padanya kini berubah menjadi kasihan dan khawatir. Setiap usai kuliah, kusempatkan untuk datang menjenguknya. Aku mendapatinya sering menangis sendirian. Entah itu karena tidak ada yang menjaganya atau karena penyakit yang diderita.
Beberapa hari di rumah sakit, Nina memintaku keluar setiap kali aku masuk. Akupun mendatanginya di rumah, tapi dia tidak pernah mau keluar menemuiku dan hanya mengurung diri di dalam kamar. Aku tidak menyerah begitu saja, kucoba menelpon Nina dan berharap dia mau bicara denganku. Namun, dia tetap tidak mau mengangkat telepon dariku, lalu kukirimkan SMS padanya agar dia mau jadi pacarku, tetapi tidak ada balasan malah HP-nya dinonaktifkan semalaman.
Keesokan harinya aku nekat datang ke rumahnya untuk meminta maaf atas kelancanganku. Ternyata ia akan berangkat ke Makassar, ke kampung orang tuanya. Karena orang tuanya tidak dapat mengantarnya, akupun menawarkan diri untuk mengantarnya, namun Nina lebih memilih naik taksi dengan alasan tidak mau merepotkan orang lain. Sebelum naik ke mobil, dia menitipkan kertas untukku kepada mamanya.
Alangkah hancurnya hatiku ketika membaca sebait kalimat yang berbunyi, "Maaf saat ini aku hanya ingin berkonsentrasi untuk kuliah." Hatiku remuk dan aku pulang dengan perasaan kesal sekali. Ini pertama kalinya aku ingin pacaran, tapi ditolak. Sebenarnya, aku tidak begitu suka dengan hubungan pacaran seperti itu karena begitu banyak dampak negatifnya, sampai ada yang rela bunuh diri karena ditinggal kekasihnya –naudzubillahi min dzalik-
Namun entah ketika aku melihat Nina hatiku pun tergoda untuk menjalin hubungan itu.
Sejak perpisahan itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya sampai gelar sarjana aku raih. Lalu akupun bekerja di perusahaan milik keluargaku sebagai satu-satunya ahli waris. Melihat ketekunanku bekerja, papa Nina menyukaiku hingga hubungan kami akrab dan kuutarakan maksudku bahwa aku menyukai Nina, anaknya, dan ternyata papa Nina setuju untuk menjadikanku sebagai menantunya.
24 oktober 2006, bertepatan dengan hari raya idul fitri, aku dan orang tuaku bersilaturahmi ke rumah keluarga Nina dengan maksud membicarakan perjodohan antara aku dan Nina. Tapi pada saat itu Nina baru dirawat di rumah sakit sejak bulan Ramadhan. Saat kutemui, Nina terlihat sangat pucat, lemah, dan senyumnya seakan hilang dari bibirnya. Hari itu orang tua kami resmi menjodohkan kami. Bahkan aku diminta untuk menjaganya karena orang tuanya akan berangkat ke luar negeri. Tetapi Nina tidak pernah mau meladeniku.
Suatu hari aku melihat Nina kesakitan, terlihat darah keluar dari hidung dan mulutnya. Aku bermaksud untuk membantu mengusap darah dan keringat yang ada di wajahnya, tetapi secara spontan dia menamparku pada saat aku menyentuh wajahnya. Betapa kaget diriku dibuatnya, aku tidak menyangka sama sekali Nina akan menamparku. Sungguh betapa istiqomahnya dia dalam menjaga kehormatan untuk tidak disentuh oleh laki-laki yang bukan muhrimnya. Saat itu aku belum mengetahui tentang masalah ini dalam agama.
Kejadian tersebut secara tak sengaja terlihat mama Nina, maka Nina pun dimarahi habis-habisan hingga sebuah tamparan mendarat di pipinya. Kulihat Nina segera melepas infusnya dan berlari menuju kamar mandi. Nina pun mengurung diri di kamar mandi tersebut. Dengan terpaksa kami mendobrak kamar mandi dan kami dapati Nina tergeletak di lantai tak sadarkan diri karena terlalu banyak darah yang keluar.
Setelah sadar, aku berusaha bicara dan meminta maaf kepadanya atas kejadian tadi, namun Nina terus-terusan menangis. Akupun bertambah bingung, apa yang mesti aku lakukan untuk menenangkannya. Tanpa pikar panjang aku memeluknya, tapi Nina malah mendorongku dengan keras dan berlari keluar dari kamar dan menuju taman. Ketika kudekati Nina berteriak hingga menjadikan orang-orang memukuliku karena menyangka aku mengganggu Nina. Karena itulah, Nina semalaman tidur di taman dan aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Setelah waktu subuh menjelang kulihat Nina beranjak untuk melaksanakan shalat subuh di masjid, akupun turut shalat. Namun setelah shalat tiba-tiba Nina menghilang entah ke mana. Aku mencarinya berkeliling rumah sakit tersebut. Dan lama berselang kulihat banyak kerumunan orang dan ternyata Nina tak sadarkan diri tergeletak dengan HP yang berada di sampingnya, sepertinya dia barusan telah berbicara dengan seseorang. Keadaan Nina saat itu sedang kritis sehingga pernafasan harus di bantu dengan oksigen. Kata dokter, paru-paru Nina basah dan mungkin diakibatkan semalaman tidur di taman.
Nina tak kunjung juga sadar. Dengan perasaan khawatir dan bingung aku berdoa dengan menatap wajahnya yang pucat pasi…
Tiba-tiba ada sebuah sms yang masuk ke hp Nina, tanpa sadar akupun membaca dan membalas sms tersebut. Aku juga membaca beberapa sms yang masuk ke hpnya dan aku sangat terharu dengan isinya, ternyata banyak sekali orang yang menyayanginya. Di antaranya adalah orang yang bernama Ukhti. Dulu sebelum aku mengetahui Ukhti adalah panggilan untuk saudari perempuan, aku sempat cemburu dibuatnya. Aku mengira Ukhti adalah pacar Nina yang menjadi alasan dia menolakku.
Setelah Nina tersadar dari pingsannya, aku menunjukkan sms yang dikirim saudari-saudarinya dan dia sangat marah ketika tahu aku sudah membaca dan membalas sms dari saudari-saudarinya. Diapun akhirnya melarangku untuk memegang hpnya apalagi mengangkat atau menghubungi saudari-saudarinya.
Namun, tetap saja aku sering ber sms- an dengan saudari-saudarinya untuk mengetahui kenapa sikap Nina begini dan begitu. Dari sinilah aku mendapat sebuah jawaban bahwa Nina tidak mau bersentuhan apalagi berduaan denganku karena aku bukan mahramnya dan Nina menolak untuk berpacaran serta bertunangan denganku karena di dalam Islam tidak ada hal-hal seperti itu dan hal itu merupakan kebiasaan orang-orang Non-Muslim.
Aku tahu juga Nina mencari seorang Ikwan yang mencintai karena Allah bukan atas dasar hawa nafsu. Akhirnya aku tahu sikap Nina selama ini semata-mata dia hanya ingin menjalankan syariat Islam secara benar.
No comments:
Post a Comment