Laman

Thursday, October 14, 2010

Akhirnya Cintaku Berlabuh Karena Allah (2)



Hari berlalu dan aku terus belajar sedikit demi sedikit tentang Islam dari Nina dan saudari-saudarinya, terutama dalam melaksanakan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Saat itu aku merasakan ketenangan dan ketentraman selama menjalankannya dan menimbulkan perasaan rindu kepada Allah untuk senantiasa beribadah kepadaNya. Niatku pun muncul untuk segera menikahi Nina agar tidak terjadi fitnah, namun kondisi Nina semakin memburuk. Dia selalu mengigau memanggil saudari-saudarinya yang dicintai karena Allah ….

Melihat hal itu, aku membawanya ke kota Makassar, ke kampung mama kandung Nina untuk dipertemukannya dengan saudari-saudarinya, Qadarullah (atas kehendak Allah), aku tidak berhasil mempertemukan mereka. Yang ada, kondisi Nina semakin parah dan penyakitku juga tiba-tiba kambuh sehingga akupun harus di rawat di rumah sakit.

Orang tua Nina datang dan membawanya kembali ke kota Makassar tanpa sepegetahuanku karena saat itu aku juga di opname. Di Makassar, Nina diawasi dengan ketat oleh papanya, karena papa Nina kurang suka dengan akhwat, apalagi yang bercadar.

Rumah sakit dan rumah yang ditempati Nina dirahasiakan. Dan Nina pun tak tahu di mana dia berada. Karena kondisinya masih lemah, Nina pun tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan ia kadang dibius, apalagi ketika akan di pindahkan dari satu tempat ke tempat yang satunya agar tidak tahu di mana keberadaanya, karena papanya tidak ingin ada akwat yang menjenguk Nina. Namun karena Nina masih mempunyai HP yang dia sembunyikan dari papanya, sehingga beberapa kali Nina berusaha kabur untuk menemui saudari-saudarinya, akhirnya Nina dikurung di kamarnya.

Mendengar hal itu, aku langsung menyusul Nina ke Makassar dan aku sempat berbicara dengannya dari balik pintu. Nina menyuruhku untuk menemui seorang Uztad di sebuah masjid di kota itu. Dari pertemuanku dengan Uztad tersebut aku pun di ajak ta'lim beberapa hari dan aku menginap di sana.

Papa Nina menyangka Nina telah mengusirku sehingga ia pun dimarahi. Setibanya di rumah, aku jelaskan duduk perkaranya kepada Nina, bahwa ia tidak bersalah dan aku mengatakan agar pernikahan kami dipercepat.

Hari kamis, 24 November 2006, kami melangsungkan pernikahan dengan sangat sederhana. Acara tersebut Cuma dihadiri oleh orangtua kami beserta dua orang rekanan papa. Setelah akad nikah aku langsung mengantar uztad sekalian shalat dhuhur. Betapa senangnya hatiku, akhirnya aku bisa merasakan cinta yang tulus karena Allah. Semoga kami bisa membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dan senantiasa dalam ketaatan kepada Allah. Itulah doaku saat itu.

Sepulang dari mengantar uztad, perasaan bahagia itu seakan buyar mendapati Nina yang baru saja menjadi istriku tergeletak di lantai, dari hidung dan mulutnya kembali berlumuran darah, dan tangannya terlihat ada goresan.

Kami langsung membawanya ke rumah sakit, di perjalanan, kondisi Nina terlihat sangat lemah. Terdengar suaranya memanggilku dan berkata agar aku harus tetap di jalan yang di ridhai-Nya sambil memegang erat tanganku karena kesakitan. Baru pertama kali ia memegang tanganku dengan tulus, air mataku tak tertahankan melihat keadaan Nina yang terus berdzikir sambil menangis, dia juga selalu menanyakan saudari-saudarinya di mana?

Setibanya di rumah sakit, aku bertanya-tanya kenapa Nina tergores. Aku pun menulis sms kepada saudari-saudari Nina. Ternyata, tangan Nina tergores ketika hendak menemui saudari-saudarinya dengan keluar dari kamar. Karena pintu kamar terkunci, Nina ingin keluar melalui jendela sehingga menyebabkan tangannya tergores.

Nina tak kunjung sadar hingga larut malam, aku pun tertidur dan tidak menyadari kalau Nina bangkit dari tempat tidurnya. Dia ingin sekali menemui saudari-saudarinya dan tidak menyadari kalau hari telah larut malam. Dia Cuma berkata, "pengin ketemu saudariku karena sudah tidak ada waktu lagi." Berhubung Nina masih lemah, dia pun jatuh pingsan setelah beberapa saat melangkah.

Aku benar-benar kaget dan bigung mau memanggil dokter tapi tidak ada yang menemani Nina. Akhirnya, aku menghubungi salah seorang saudarinya untuk menemani.

Setelah aku dan dokter tiba, Nina sudah tidak bernafas dan bergerak lagi. Pertahananku runtuh dan hancurlah harapanku melihat Nina tidak lagi berdaya.

Dokter menyuruhku keluar. Pada saat itu kukira Nina telah tiada, makanya aku segera menulis sms kepada saudari Nina untuk memberitahukan bahwa Nina telah tiada. Namun, begitu dokter kaluar, masya Allah! Denyut jantung Nina kembali berdetak dan ia dinyatakan koma. Aku hendak memberi kabar kepada saudari Nina tapi baterai hp ku habis dan tiba-tiba penyakitku pun kambuh lagi sehingga aku harus diinfus juga.

Jam 11.30 perasaanku mengatakan Nina memanggilku, maka aku segera bangkit dari tempat tidur dan melepas infus dari tanganku menuju kamar Nina. Kutatap wajah Nina bersamaan dengan kumandang adzan shalat jum'at. Sembari menjawab adzan, aku terus menatap wajah Nina berharap dia akan membuka matanya.

Begitu lafadz laailaha illallah, suara mesin pendeteksi jantung berbunyi, menandakan bahwa Nina telah tiada. Aku berteriak memanggil dokter, tapi Qadarullah istriku sayang telah pergi untuk selama-lamanya dari dunia ini. Nina langsung dimandikan dan dishalatkan selepas shalat Jum'at, lalu diterbangkan ke rumah papanya di Malaysia. Untuk terakhir kalinya kubuka kain putih yang menutupi wajahnya terlihat berseri.

Aku harus merelakan semua ini, aku harus kuat dan menerima takdirNya.

Teringat kata-kata Nina, "Berdoalah jika memang Allah memanggilku lebih awal dengan doa, "Ya Allah, berikan kesabaran dan pahala dari musibah yang menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik."

Setelah pemakaman, aku langsung balik ke Jakarta karena kondisiku kurang stabil Astagfirullah!! Aku lupa memberitahukan saudari-saudari Nina. Mungkin karena aku terlalu larut dalam kesedihan, hingga secara spontanitas aku menghubungi mereka dan menyampaikan bahwa Nina benar-benar telah tiada. Aku tahu pasti, mereka pasti sedih dengan kepergian saudari mereka cintai karena Allah. Dari ketiga saudari Nina , ada seorang yang tidak percaya dan sepertinya dia sangat membenciku. Entah, mengapa sikapnya seperti itu?
Sekiranya mereka tahu, bahwa sebelum kepergiannya Nina selalu memanggil nama mereka, tentulah mereka semakin sedih.

Dalam hp nina terlihat banyak sms yang menunjukkan betapa indahnya ukhuwah dengan saudari-saudarinya. Semoga saudari-saudari Nina memaafkan kesalahannya dan kesalahan diriku pribadi.

"Salam sayang dari Nina tuk kakak Rini, Sakinah, dan Aisyah serta akhwat di Makassar. Teruslah berjuang menegakkan dakwah ilallah. Syukran atas perhatian kalian."

Tak lama setelah kisah ini di muat di Media Muslim Muda Elfata, radaksi Elfata menerima sms dari seorang ukhti, saudari Nina. Isi sms tersebut adalah, "Afwan, mungkin perlu Elfata sampaikan kepada pembaca mengenai kisah "Akhirnya cintaku berlabuh karena Allah" di mana kak Nina telah meninggal dan kak Adhit pun telah tiada. Kurang lebih 2 pekan (kak Adhit-red) dirawat di rumah sakit karena penyakit dari paru-parunya. Sebelum sempat di operasi, maut telah menjemputnya. Ana menyampaikan hal ini karena masih banyak yang mengirim salam, memberikan dukungan ke kak Adhit yang kubaca di Elfata dan beberapa orang yang kutemui di jalan juga selalu bertanya, kak Adhit bagaimana? Ana salah satu ukhti dalam cerita tersebut, syukran jiddan."

Sumber : Buku seindah cinta ketika berlabuh oleh fatamedia publishing

No comments:

Post a Comment