Laman

Duniaku Tak Lengkap Tanpamu

6 komentar

Sebuah pekerjaan yang melelahkan, namun selalu membuatku ketagihan.

Apa pasal?

Aku sibuk memperhatikan gerak-gerik deretan semut-semut yang berjejer rapi dan menyusuri dinding kamarku. Aku bahkan merekamnya dalam sebuah video di handphone. Memperhatikan semut-semut kecil itu berbaris dan saling tolong menolong, aku terkesiap lalu teringat beberapa orang teman-temanku. Semut-semut itu sepertinya menjalin sebuah keakraban yang begitu hangat. Setiap kali mereka berpapasan dengan temannya, mereka berhenti sejenak. Aku sendiri tidak tahu apa yang mereka lakukan karena aku tak memiliki kemampuan Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam ‎yang bisa berbicara dengan hewan. Aku mendunga banyak hal setelah mengamatinya lebih dekat, bahkan suatu waktu menggunakan sebuah kaca pembesar untuk memperhatikan gerakannya.

 Mereka sepertinya bersalaman dan sekedar bertegur sapa. Apa katanya?

Jangan tanya aku, Kawan. Aku tidak mengerti.

Mereka menjalin kekeluargaan dengan baik. Memperhatikan mereka hidup dalam suasana kekeluargaan yang hangat, membuatku rindu akan beberapa teman-temanku yang belakangan mulai sibuk tergerus masa. Tak ada yang mengirimiku pesan hari ini, namun aku memaklumi kesibukan mereka masing-masing. Kesibukan mereka bukanlah bumerang untukku dan alasan agar membuatku jauh dari mereka.

Maka akan kusebutkan mereka satu persatu.

Dia adalah Arifah. Teman seperjuanganku semasa SMA. Hingga kini aku masih sering bertemu dengannya, bahkan terkadang kami menghabiskan waktu berdua melepas penat dengan berjalan-jalan ke pantai atau sekedar makan es krim bersama. Ia adalah partner terbaik yang pernah kudapati. Bersamanya, aku tak ragu melangkahkan kakiku. Saat susahpun, meski ia tak memberiku sedikit solusi, ia mau mendengar celotehku yang panjang tanpa mengeluh. Dia juga memiliki tabiat yang hampir sama denganku. Sama-sama suka balapan dan kecelakaan motor. Tabiat yang kurang bagus memang, namun kami bisa bekerja satu tim dengan baik. Melengkapi kekurangan masing-masing dan mengimbangi karakterku yang cenderung meledak-ledak dan out of control dengan sifatnya yang cenderung tenang layaknya seorang kakak. Aku selalu memanggilnya dengan sebutan “Onee-Chan” yang dalam bahasa Jepang berarti Kakak Perempuan.

Jika bertanya siapa sosok yang paling cool diantara kami. Dia adalah Hilya. Sosok dingin dan pendiam. Berbicara seperlunya saja, namun murah senyum. Pandai dalam pelajaran Biologi dan tak sungkan-sungkan mengajar. Dia paling anti memberikan buku LKS atau lembar jawabannya jika ujian berlangsung. Tak heran beberapa dari teman kami tak akan pernah mau lagi meminta jawaban padanya kecuali benar-benar terdesak. Namun, jangan ditanya kebaikan hatinya. Selama masih mampu menolong, dengan sepenuh hati akan ia kerjakan. Sifat yang paling menonjol yang ia miliki adalah amanah. Pantang baginya untuk meninggalkan amanah yang telah diberikan.

Kalau masalah kecewek-cewekan, dia ratunya. Dia adalah Raihanah. Pokoknya dia yang paling kinyis-kinyis diantara semuanya. Ah, dia paling bisa pelajaran matematika. Satu pelajaran yang kadang membuat rambut dikepalaku mau lepas semua. Beruntunglah, kami punya dia. Ada yang mengimbangi. Selalu ada hal yang membuatku gemas padanya, pipinya yang tembem kadang membuatku ingin meremas kedua pipinya hingga memerah. Makanan kesukaannya sepanjang masa adalah bakso. Ber-Trio dengan Khairunnisa dan Rifda.

Si lucu yang satu ini namanya Khairunnisa. Ekspresi, mimik, hingga cerita-ceritanya tak jarang mengocok perut. Aku ingat sekali sifatnya yang kadang perfeksionis dalam berbagai hal. Tak jarang aku sendiri merasa bersalah jika aku terlambat mengerjakan pekerjaan kelompok saat aku dan dirinya berada dalam satu kelompok belajar. Satu hal yang menonjol padanya, ia begitu pandai mengontrol perilaku dan mengasah logikanya. Salah sedikit, boleh jadi dapat kritik.

Jika bertanya siapa yang paling polos, nah dialah Rifda. Lucu. Ada Rifda, selalu ada Khairunnisa dan Raihanah. Masalah hitungan anggaran belanja, dia jagonya. Segala macam tetek bengek perabotan Mushallah dan anggaran belanja, yang bagi beberapa dari kami tak pernah tahu belajar berhemat, dia tampil sebagai sosok akuntan yang handal meski tidak professional.

Namanya indah, Luthfiah. Selembut orangnya. Dibalik perangainya yang pendiam, tersembunyi sosok cerdas dan ramah. Dia selama dua tahun berturut-turut menjadi pemimpin kami semua. Tak perlu diceritakan bagaimana model pemimpin harapan, padanyalah kami menemukan apa yang kami harapkan. Bijak adalah modal besar yang dimilikinya yang hingga kini masih sulit kutemukan pada orang-orang disekelilingku.

Namun, kami takkan bisa bersama seperti itu tanpa ada tangan-tangan yang membantu kami menjadi satu. Merekalah generasi-generasi awal kami di Rohis, pada mereka kami berterima kasih, karena lewat tangan merekalah Allah menitipkan hidayah kepada kami. Mereka tak lain adalah Masyitha, ‘Aisyah, Iffah, dan kawan-kawannya. Sosok manis, lembut, pengertian, dan tak pernah sungkan menolong kami dalam berbagai hal.

Disudut kota indah ini, mereka kutemukan sebagai mozaik-mozaik hidupku yang harus kurangkai hingga menjadi sebuah bentuk utuh diriku yang sesungguhnya. Disudut kota itulah, berdiri sebuah bangunan sederhana yang disebut Mushallah sebagai tempat bermulanya metamorfisis kami menjadi lebih baik. Disanalah semua kisah kami dimulai.

Kisah tentang senyum, bahagia, dan tawa…

Kisah tentang luka, pedih, tangis, juga air mata…

Semuanya ada disana. Disalah satu sudut sekolah tercinta kami. tertoreh banyak kisah yang hingga kini selalu membekas dan terpatri dalam sanubari.

Tersimpan dengan apik didalam Bank Kenangan yang kami miliki masing-masing. Kini, suara mereka masih mampu terdengar meski mereka berada jauh dariku.
Mengingati mereka, senyumnya, tawa, dan candanya. Semuanya kadang menyisakan sedikit genangan air dipelupuk mataku.

Ikatan itu terlalu kuat jika harus dipaksa putus.

Karena Allah yang mengikat kami..

Karena Allah yang menjadikan hati-hati kami terikat satu dengan yang lainnya.

Menjadikan ibadah-ibadah mereka sebagai tolak ukur dalam meningkatkan ibadah kami.

Menjadikan senyum dan semangatnya sebagai energi baru dikala putus asa melanda.

Menjadikan air mata kepedihan mereka sebagai air mata kami tatkala mereka diuji.

Menjadikan raut bahagia mereka yang telah lulus ujian sebagai bahagia dan haru kami.

Menjadikan beratnya ujian mereka sebagai cerminan bahwa ujian yang kami miliki belum seberapa dibandingkan dengan ujian mereka yang lebih berat, namun mereka masih berusaha berjuang..

Rabbi, pada-Mu kami memohon agar persaudaraan kami terjaga hingga akhir masa.

Kepada-Mu kami meminta kawan-kawan akrab yang mengingatkan kami untuk senantiasa Penuh Semangat dalam Menapaki Kebaikan..

Kepada-Mu kami meminta sahabat karib yang pada Hari Perhitungan-Mu tak menjadi seteru-seteru kami..

Rabbi, pada-Mu kutitipkan mereka..

Jaga mereka..

Rengkuh mereka dalam dekap erat-Mu..

Tautkan hati-hati kami untuk senantiasa saling mencintai karena-Mu..

Aamiin.

Bumi Allah, 13 Juli 2012 

NB : Di tulis oleh Khadijah, adikku yang aktifnya bukan main hehehe, seperjuangan mengembang da'wah di SMA ku dulu, Uhibbukum Fillah 


Gaza I am in Love

7 komentar

Novel yang berjudul Gaza I'm coming menceritakan tentang jurnalis muda bernama Devina yang diberi tugas untuk meliput peristiwa di Gaza, namun sebelum memasuki perbatasan Rafah menuju Gaza seorang temannya berprofesi sebagai dokter memintanya untuk menikahi Misy’al rekan sekantor Devina yang pembawaanya rada cuek dan cool dengan alasan perlindungan dan keamanan. Cinta mereka mulai merekah, namun mereka harus terpisah dikarenakan Misy’al harus bertugas meliput tentara Hamas. Berminggu-minggu mereka tidak bertemu, hingga masa kerja terlah terlewati. Mengharuskan Devina kembali ke Indonesia, tanpa ditemani Misy’al yang diduga telah meninggal akibat serangan tentara Isreal. Namun ia tidak yakin sampai ia mendapatkan informasi valid, Devina pun kembali memasuki Jalur Gaza yang kebetulan ditemani seorang jurnalis dari Malaysia.

Pokoknya pada intinya mereka kayak anak kehilangan induknya, saling mencari. Dalam novel ini Misy’al tidak meninggal.

Awal belinya aku tertarik karena judulnya dan kalimat cover depannya:

“Kamu ingin meliput Gaza?” Tanya Devin pasti, hingga ia terlonjak dari duduknya, aku ingin menaklukkan Gaza dengan kameraku ini.” Balasnya menyakinkan. Sungguh, ia seperti aku dengan gelegak yang sama saat aku dikirim ke sini.

Dugaan awalku novel ini menceritakan tentang kisah jurnalis dari sisi kinerja jurnalis ternyata oh ternyata kisah romantis toh. Kau hipnotis aku :D kebaca sih back covernya but tidak fokus, karena sudah hanyut dengan kata Gaza so, kebeli deh. Tapi ternyata baca ini membuat air mataku tidak berhenti mengalir, serius. Mungkin karena saya begitu terhanyut dengan kota yang ingin sekali ku jumpai, so tidak sia-sia juga ke beli jadi, sila baca.

BUKAN PROMOSI LOH !!!