Laman

Saturday, August 06, 2011

Bulan "Kesholehan"

Memasuki bulan ramadhan simbol-simbol yang bernuansa islami mulai semarak terlihat. Yang paling mencolok tuh barang-barang mulai naik, sekarang ibu-ibu mulai pada pusing, mengetatkan belajaan. Tapi aneh, walaupun harga-harga pada naik, tapi tetap banyak orang berebut membeli barang-barang baru, termasuk baju baru. Kenapa ya?

Ada lagi sinetron, iklan dan musik islami menjamur, semuanya menampilkan ikon-ikon yang islami, wanita berhijab, lelaki berkopiah, lantunan ayat suci Al-Qur’an dan lain sebagainya Tapi kok hanya rame pada bulan ramadhan saja ya?

Sebagain artis-artis rata-rata berkerudung atau malah hampir semua, walaupun belum sampai pada taraf syar’i, yang jelas mereka menutup rambut mereka, selebihnya boleh ketat. Tapi kok, tidak di pake terus ya, kenapa hanya di bulan puasa saja? Ini tuntutan siapa? Mediakah, kondisi atau apa ya?

Termasuk juga masjid-masjid pada rame, sampai diteras masjid penuh. Padahal bulan-bulan sebelumnya maupun sesudahnya jarang sekali. itu pun hanya berlangsung pada awal bulan saja, bagaimana pertengahan bulan atau akhir bulan?

Nah sampai pada hari raya idul fitri, maka bergembiralah orang-orang untuk menikmati hidangan yang lezat dan nikmat. Dengan asumsi (sebagian orang) bahwa saatnya balas dendam untuk mengisi perut sebanyak-banyaknya. Padahal kalau mereka mau menggali makna bulan ramadhan jauh lebih lezat dan nikmat dari makanan.

Sinetron, iklan dan musik islami kemudian disertai artis-artis berbusana muslimah namun tidak syar’i, pada hakekatnya adalah permainan media yang memanfaatkan momentum bulan ramadhan untuk merekrut simpati masyarakat sebanyak-banyaknya agar produk-produk yang mereka tampilkan laku dipasaran. Apa tujuan utamanya adalah asas keuntungan atau materi (kapitalisme) tanpa memperdulikan halal wa haram. Halal wa haram maksudnya tidak memperdulikan apakah yang mereka tampilkan sesuai dengan aturan islam atau tidak, contoh :

Dalam sinetron banyak sekali wanita-wanita yang dieksploitasi tanpa sadar, cara berbusana mereka tidak syar’i berpakaian ketat namun hakekatnya telanjang, bertabarruj, sering terlihat scene menampilkan wanita dan laki-laki berkhalwat dan beriktilath, berpegangan yang bukan mahramnya dan pastinya menimbulkan nafsu. Dan yang lebih parah, banyak artis-artis yang bukan beragama islam berusaha menampilkan ikon islami. Tentunya semua ini hanya berlangsung selama bulan ramdhan saja, selepas dari bulan tersebut akan lenyap nuansa islaminya. Mereka yang terlibat di dalamnya berusaha berdalih dengan alasan dakwah, tentunya dakwah memang wajib dan seluruh komponen hidup harus terlibat, namun dakwah tersebut haruslah sesuai dengan koridor islam. Maka tujuan yang sebenarnya hanya beribadah tidak ada embel-embel lain, tidak ada illat di dalamnya.

Kasihan para uztad-uztad kita, yang dengan sungguh-sungguh menyebarkan islam, malah alokasi waktu di tentukan sekian jam saja dan kebanyakan dipake bulan ini saja.

Masjid-masjid pun seperti itu hanya rame di awal bulan ramadhan saja, tidak lain dan tidak bukan turut berpartisipasi saja, sekedar formalitas. Takut di cap oleh tetangga, jarang ke masjid, akhirnya dengan berat hati dan kaki seakan-akan sulit melangkah, jadi ke masjid saja. Saya kira ini sesuatu yang umum.

Jadi seakan-akan bulan kesholehan hanya berlangsung dalam kurun waktu bulan ramadhan saja. Padahal yang seharusnya, nuansa islami harus berlangsung dan terimplemetasikan secara kaffah, baik itu di bulan ramadhan maupun diluar bulan suci ramadhan.

Kalau masalah barang-barang pada naik itu juga kapitalis, masih sedikit dari para pedagang memahami metode jual beli ala Rasulullah, hingga mengadopsilah ala jual beli barat.

Memasuki hari raya idul fitri, maka ajang unjuk pamer diri, di mulai. Baju baru, sepatu baru, semuanya baru. Padahal esensinya yang penting rapi dan bersih. makanan tersedia berbagai macam, maka dilahaplah semua. Tentunya semua ini sah-sah saja, tapi kalau niat dan tujuannya hanya bersenang-senang saja, bukan ibadah tentunya hal ini salah.

Serta masih banyak masalah-masalah lainnya, yang menghilangkan aturan-aturan agama dalam kehidupan (sekularisme).

Jika muncul pertanyaan, memungkinkankah terwujudnya pengimplementasian islam secara kaffah untuk zaman sekarang sangatlah sulit. Jawabannya benar sekali, umat islam tidak akan pernah berhasil menjalankan agamanya dengan baik, jika di bawah sistem sekarang yaitu kapitalisme, karena sifat ideologi sesat ini hanya mengukur dari sisi manfaat saja, terikat dan memaksa. Jadi satu-satunya cara untuk mewujudkan nuansa islam harus sesuai syariat islam dalam naungan khilafah islamiyah.

Bukan Malaikat

Banyak dari orang-orang sekarang menganggap wanita maupun laki-laki yang berusaha menjalankan aturan-aturan agama islam sudah pasti memahami seluk beluk agama islam itu secara total. Salah satu contoh, jika ada seorang wanita berkerudung dan asumsi masyarakat menganggap wanita tersebut sudah pasti baik dan menjalankan aturan-aturan agama dengan baik pula, namun bila suatu waktu wanita tersebut terlihat melakukan kesalahan anggaplah berbicara dengan nada tinggi dan kasar atau berbuat curang, maka mulailah timbul opini dari banyak orang bahwa ternyata wanita tersebut hanya luarnya saja yang seolah-olah alim namun sikapnya tidak ada bedanya dengan wanita-wanita awam lainnya, sehingga timbullah opini publik bahwa semua wanita berkerudung sama saja.

Padahal jika mereka mau berfikir objektif dan memahami bahwa wanita tersebut hanya seorang manusia biasa, kemungkinan melakukan kesalahan sangat besar dan berusaha semaksimal mungkin melakukan hal-hal baik lainnya.

Andai mereka juga berfikir bisa saja wanita tersebut terpengaruh dengan lingkungan sekitar di mana dia tinggal sehingga imannya down, karena keimanan itu sifatnya fluktuatif. Bisa juga wanita tersebut ilmu tentang berkomunikasi secara ahsan masih kurang atau belum cukup mendalami.

Dan boleh jadi suatu hari nanti wanita tersebut sadar bahwa kesalahan yang dia lakukan akan diperbaharui.

Sama juga dengan para dai, aktivis islam, bahkan ulama. Mereka bukan malaikat, kesalahan yang sebenarnya mereka lakukan secara sengaja maupun tidak, tidak serta merta men-judge mereka dengan alasan-alasan yang bersifat subjektif. Sikap kedewasaan, pikiran positif dan komunikasi yang baik yang semestinya ditempuh untuk mengoreksi mereka.

Akar permasalahan yang sebenarnya bukan hanya pada kekhilafan semata dari para alim tersebut, namun ketidakpahaman dari banyak umatlah. Dan pertanyaannya mengapa umat tidak memahami, itu karena umat (islam) tidak menganggap fardhu ‘ain ilmu agama. Hanya sekedar pendidikan moral yang boleh jadi dilaksanakan atau tidak, dengan berlandaskan HAM. Hingga permasalahan-permasalahan kecil seperti ini malah diperbesarkan. Jika ada pertanyaan apakah ada keterkaitan antara ilmu agama dengan masalah ini, tentunya ada yaitu terletak dari mafahim (persepsi) masyarakat dan sikapnya khususnya umat muslim terhadap muslim lainnya.

Mereka bukanlah malaikat yang tidak pernah melakukan kesalahan.